Rabu, 18 Juni 2014

Seminar Akuntansi Pemerintahan



MATA KULIAH
SEMINAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN

TUGAS INDIVIDU

Dosen : Dr. H. HARRY SUHARMAN., SE, MA, Ak


DI SUSUN OLEH:
ANJELITA
120620120505


MAGISTER AKUNTANSI – KEMENPU
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2013


 
STRATEGIC COST REDUCTION UNTUK MENCAPAI KONSTRUKSI YANG BERKELANJUTAN

I.    PENDAHULUAN
I.1   Latar Belakang
Indonesia sebagai negara berkembang perlu menciptakan lingkungan  kehidupan yang berkualitas, seperti kualitas lingkungan yang baik, fasilitas fisik yang sehat, peningkatan produktifitas dari masyarakat, dan penggunaan sumber daya energi seminimal mungkin. Kebutuhan akan fasilitas fisik sarana dan prasarana untuk mendukung kehidupan bukan hanya diperlukan untuk saat ini, akan tetapi diperlukan pula untuk kehidupan yang akan datang. Pembangunan fasilitas fisik yang memperhatikan aspek keberlanjutan (sustainable development) tentu menjadi proyek konstruksi pemerintah.
Pemenuhan konsep konstruksi yang berkelanjutan ini memberikan konsekuensi kepada industri konstruksi unruk menambah syarat atau spesifikasi yang pada akhirnya membutuhkan peningkatan jumlah serta kualitas sumber daya yang lebih, seperti kebutuhan akan tenaga profesional multidisiplin, tingkat analisa yang lebih dalam dan  kompleks, pemilihan material dan metoda yang lebih hati-hati, kebutuhan sertifikasi, dan lain-lain. Pada akhirnya, semua konsekuensi dari konstruksi yang berkelanjutan akan meningkatkan biaya konstruksi cukup signifikan mulai 5% hingga 10% (Smith, A dalam Lapinski 2006 dalam Abduh, Muhamad).
Permasalahan industri konstruksi yaitu pada ketidakefisienan dalam pelaksanaan proses konstruksi. Banyak terjadi pemborosan yang menggunaka sumber daya akan  tetapi  tidak menghasilkan nilai yang diharapkan. Dalam  hal ini penerapan strategic cost reduction diharapkan dapat mengurangi ketidakefisienan tersebut.


I.2   Tujuan
Untuk memperoleh gambaran mengenai manfaat strategic cost reduction jika diterapkan dalam konstruksi untuk pembangunan yang berkelanjutan.
I.3   Rumusan Masalah
Bagaimana penerapan strategic cost reduction dapat memberikan manfaat untuk pembangunan yang berkelanjutan.

II.       ISI
II.1 Konsep cost reduction
Cost reduction terjadi ketika dilakukan pengaturan suatu aktivitas yang berhubungan dengan proses produksi dapat mengurangi biaya produksi dengan menghilangkan biaya yang tidak perlu.
Cost reduction  memfokuskan pengurangan biaya pada penyebab timbulnya pemborosan yaitu kualitas. Pengurangan biaya hanya merupakan hasil dari quality improvement yang dilaksanakan untuk menghasilkan produk di dalam proses pembuatan produk, perusahaan mampu melaksanakan peningkatan kualitas secara berkelanjutan, biaya pembuatan produk akan berkurang sebagai hasil dari peningkatan kualitas tersebut. Oleh karena itu, dalam strategi cost reduction pengurangan biaya terjadi sebagai hasil dari peningkatan bertahap terhadap kualitas, keandalan dan kecepatan.
Cara terbaik dalam mengurangi biaya adalah mengeliminasi kelebihan penggunaan sumber daya dalam proses produksi. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam  usaha mengurangi biaya khususnya biaya produksi adalah :
1.      Meningkatkan  kualitas proses kerja sehingga dapat mengurangi kesalahan.
2.      Meningkatkan produktivitas
3.      Mengurangi tingkat persediaan
4.      Memperpendek atau mengeliminasi lini produksi
5.      Mengurangi gangguan pada mesin atau mesin yang berhenti selama proses produksi agar tidak menimbulkan kelebihan Work In Process
6.      Mengurangi tempat atau ruang
7.      Mempersingkat waktu tempuh produksi.

Senada dengan pengurangan biaya di atas (Tim, 2012) mengatakan bahwa “The ten important steps to achieving successful strategic cost reduction are:
1.      Set a minimum cost reduction target.
2.      Establish whether budgeting can achieve the target.
3.      Place cost reduction into the wider strategy of the business.
4.      Identify the economic  drivers of cost.
5.      Analyze costs with the value chain.
6.      Select appropriate tools from the operational toolbox.
7.      Consider outsourcing non-core activities.
8.      Restructure the labor force.         
9.      Manager the change process carefully.
10.  Monitor the results diligently.”
Sepuluh langkah penting untuk mencapai penurunan biaya strategis yang sukses adalah:
1. Menetapkan target minimum pengurangan biaya.
2. Menentukan apakah penganggaran dapat mencapai target.
3. Tempatkan pengurangan biaya ke dalam strategi yang lebi h luas dari bisnis.
4. Mengidentifikasi ekonomi biaya driver.
5. Menganalisis biaya dengan nilai rantai.
6. Pilih alat yang tepat dari toolbox operasional.
7. Pertimbangkan kegiatan non-core outsourcing.
8. Merestrukturisasi angkatan kerja.
9. Mengelola proses perubahan.
10. Memantau hasil dengan cermat.

Jadi tujuan melakukan cost reduction bukan hanya untuk mencapai standar yang ditetapkan tapi juga untuk mengurangi biaya secara bertahap agar terjadi efisiensi, sehingga biaya yang dikeluarkan dapat diminimumkan dan laba yang diperoleh maksimal. Disamping  itu yang terpenting adalah kualitas produk tetap dipertahankan sehingga kualitasnya tidak menurun.




II.2 Metoda yang termasuk dalam cost reduction 
1.            Kaizen costing
Kaizen costing berasal dari bahasa Jepang. Di Jepang Kaizan costing dikenal dengan genka kaizen yang berasal dari kata genka yang berarti harga pokok dan kaizen berarti penyempurnaan berkesinambungan. Kaizen merupakan istilah yang digunakan oleh bangsa Jepang untuk melakukan perbaikan yang berkelanjutan (Continuous Improvement). Salah satu bentuk dari usaha kaizen yaitu berwujud pengurangan biaya produksi.
Menurut Cooper dalam Kaplan (1998, hal 58) “Kaizen Costing is a continuos improvement applied to cost reduction in the manufacturing stage of a product’s life”. Kaizen costing adalah sistem yang mendukung proses pengurangan biaya secara berkesinambungan pada tahap produksi. Tujuan dari kaizen costing adalah mengurangi biaya yang terjadi pada proses produksi dengan melakukan perbaikan yang berkesinambungan (Continuous Improvement) pada setiap kegiatan produksi perusahaan sehingga tercapai efisiensi dan efektivitas secara terus menerus.
Kaizen costing tidak hanya sekedar ditujukan untuk mengurangi biaya, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas produk dan keamanan dari proses produksi atau usaha perusahaan tersebut. Kaizen costing lebih memfokuskan pada proses produksi perusahaan dan bertujuan mengeliminasi aktivitas-aktivitas yang tidak efisien yang mungkin terjadi selama dalam proses produksi tersebut. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Cooper 1995 Hal 240 “The aim of kaizen costing program is to remove unnecessary inefficiencies from production process”.
Pengurangan biaya merupakan jantung dari kaizen costing program. Menurut Hilton (1997) “The Japanese word refers to continual and gradual improvement through small betterment activities, rather than large or radical improvement made through innovation of large investment intechnology.
Badan usaha yang menerapkan kaizen costing hanya melakukan perubahan kecil namun berkesinambungan. Hal ini disebabkan karena peningkatan kearah yang lebih baik (improvement) adalah tujuan dan tanggungjawab setiap pekerja, mulai dari tingkat manager sampai dengan level terendah dalam setiap aktivitas, serta dilakukan kapan saja.
Berdasarkan paradigma continuous improvement, setiap periode tertentu, produsen merencanakan improvement yang akan dilakukan terhadap sistem dan proses pembuatan produk. Rencana improvement tersebut dinyatakan dalam cost reduction target yang akan dicapai dalam periode tertentu, yang didukung dengan rencana pengurangan dan penghilangan berbagai aktivitas penambah nilai (value-added activities). Fokus perhatian produsen diarahkan kepada cost reduction target yang merupakan selisih antara target cost dengan estimated actual cost yang diperkirakan akan terjadi selama periode tertentu.
Cost Reduction Target = Target Cost – Estimated Actual Cost
Penentuan Cost reduction target (Target Usaha Kaizen), yang hendak dicapai adalah sebagai berikut :
Cost Reduction Target = HPPAktual - HPPtarget
Dalam standart costing, fokus perhatian produsen terletak pada bagaimana mencapai standart cost yang telah ditetapkan sebelumnya atas dasar kondisi proses produksi terkini. Di lain pihak, kaizen costing memfokuskan perhatian produsen ke arah cost reduction target yang didasarkan pada kondisi proses produksi yang improvementnya direncanakan akan dilaksanakan dalam periode tertentu.

2.       Activity based costing
Beberapa ahli manajemen memberikan definisi Activity Based Costing (ABC) sebagai berikut :
1)   Menurut Mulyadi (2003:40) Activity Based Costing systems (ABC systems) adalah:   Activity Based Costing adalah sistem informasi biaya yang berorientasi pada penyediaan informasi lengkap tentang aktivitas untuk memungkinkan personel perusahaan melakukan pengelolaan terhadap aktivitas. Sistem informasi ini menggunakan aktivitas sebagai basis serta pengurangan biaya dan penentuan secara akurat biaya produk atau jasa sebagai tujuan. Sistem informasi ini diterapkan dalam perusahaan manufaktur, jasa, dan dagang”.

2)   Hilton, Maher, dan Selto (2006:14) memberikan pengertian Activity Based Costing sebagai berikut: “Activity Based Costing or ABC is a costing method that first assigns costs to activies and then to goods services based on how much each good or service use the activities”.

3)   Hansen dan Mowen, mendefinisikan Activity Based Costing sebagai berikut : Suatu sistem kalkulasi biaya yang pertama kali menelusuri biaya ke aktivitas dan kemudian ke produk.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Activity Based Costing adalah suatu pendekatan terhadap sistem akuntansi yang memfokuskan pada aktivitas titik akumulasi biaya yang mendasar yang dilakukan untuk memproduksi produk. Perhitungan biaya berdasarkan aktivitas ini didasarkan pada konsep produk yang mengkonsumsi aktivitas dan aktivitas mengkonsumsi sumber daya. Dengan metode ini manajemen diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah.

Langkah-langkah Penerapan Metode Actvity Based Costing (ABC)
Langkah-langkah dalam menerapkan metode Activity Based Costing adalah sebagai berikut:
Menurut Hansen dan Mowen (2003:122-127), proses penerapan Activity Based Costing systems dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1)     Tahap Pertama
Pada tahap pertama dalam penerapan sistem ABC adalah sebagai berikut :
1.      Mengidentifikasi aktivitas
2.      Membebankan biaya ke pool biaya aktivitas
3.      Aktivitas yang berkaitan dikelompokkan untuk membentuk kumpulan sejenis.
4.      Biaya aktivitas yang dikelompokkan dijumlah untuk mendefinisikan kelompok biaya sejenis
5.      Menghitung tarif (overhead) kelompok.
2)      Tahap Kedua
Dalam tahap ini biaya setiap kelompok overhead ditelusuri ke produk dengan menggunakan tarif kelompok yang dikonsumsi oleh masing-masing produk, sehingga biaya aktivitas yang ada dibebankan kepada produk terhadap setiap aktivitas. Kemudian biaya overhead perunit diperoleh dengan menelusuri biaya-biaya overhead dari kelompok-kelompok tertentu pada produk. Total biaya tersebut kemudian dibagi dengan jumlah unit yang diproses dan akan menghasilkan biaya overhead perunit.

Menurut Blocher, Chen, dan Lin (2002:109) terdapat tiga langkah utama dalam merancang sebuah ABC systems, yaitu:
1.      Mengidentifikasi biaya sumber daya dan aktivitas
2.      Membebankan biaya sumber daya ke aktivitas
3.      Membebankan biaya aktivitas ke objek biaya

Garrison dan Noreen (2003:322) membagi proses penerapan Activity Based Costing systems menjadi enam tahap:
1.      Mengidentifikasi dan mendefinisikan aktivitas dan pool aktivitas
2.      Bila mungkin, menelusuri langsung ke aktivitas dan objek biaya
3.      Membebankan biaya ke pool biaya aktivitas
4.      Menghitung tarif aktivitas
5.      Membebankan biaya ke objek biaya dengan menggunakan tarif aktivitas dan ukuran aktivitas.
6.      Menyusun laporan manajemen
.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum  tahap-tahap penerapan sistem ABC adalah:
1) mengidentifikasikan aktivitas utama dan membuat kamus aktivitas,
2) menentukan biaya aktivitas-aktivitas tersebut,
3) mengidentifikasikan ukuran konsumsi untuk biaya aktivitas (penggerak aktivitas),
4) menghitung tarif aktivitas,
5) mengukur permintaan aktivitas tiap produk,
6) menghitung biaya produk.

3.       Depresiasi (Penyusutan)
Depresiasi adalah sebagian dari harga perolehan aktiva tetap yang secara sistematis dialokasikan menjadi biaya setiap periode akuntansi. Comittee on terminology dari AICPA memberikan definisi sebagai berikut :
Akuntansi depresiasi adalah suatu sistem akuntansi yang bertujuan untuk membagikan harga perolehan atau nilai dasar lain dari aktiva tetap berwujud, dikurangi nilai sisa (jika ada), selama umur kegunaan unit itu yang ditaksir (mungkin berupa suatu kumpulan aktiva-aktiva) dalam suatu yang sistematis dan rasional. Ini merupakan proses alokasi, bukan penilaian.
Sejalan dengan definisi di atas wegandt dalam accounting Principles edisi 7 hal 570 mendefinisikan “depresiasi sebagai alokasi biaya dari aset tetap menjadi beban selama masa manfaatnya berdasarkan cara yang sistematis dan rasional”.
Faktor-faktor yang menyebabkan depresiasi bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni :
a.       Faktor-faktor fisik
Faktor-faktor fisik yang mengurangi fungsi aktiva tetap adalah aus karena dipakai (wear and tear), aus karena umur (deterioration and decay) dan kerusakan-kerusakan.
b.       Faktor-faktor fungsional
Faktor-faktor fungsional yang membatasi umur aktiva tetap antara lain, ketidakmampuan aktiva untuk memenuhi kebutuhan produksi sehingga perlu diganti dan karena adanya perubahan permintaan terhadap barang atau jasa yang dihasilkan, atau karena adanya kemajuan teknologi sehingga aktiva tersebut tidak ekonomis lagi jika dipakai.

Faktor-faktor dalam Menentukan Biaya Depresiasi
Ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan beban depresiasi setiap periode (Weegant, hal 571). Faktor-faktor itu ialah :
a.       Harga perolehan (cost)
Harga perolehan memengaruhi biaya dari aset yang dapat disusutkan. Harga perolehan yaitu uang yang dikeluarkan atau utang yang timbul dan biaya-biaya lain yang terjadi dalam memperoleh suatu aktiva dan menempatkannya agar dapat digunakan.
b.      Masa Manfaat (useful life)
Masa manfaat adalah estimasi masa produktif yang diperkirakan, yang disebut juga dengan umur manfaat (service life). Masa manfaat dapat dinyatakan dalam satuan waktu, unit aktivitas (seperti jam kerja mesin), atau jumlah unit yang dihasilkan. Masa manfaat merupakan estimasi (perkiraan). Dalam membuat estimasi, manajemen mempertimbangkan berbagai faktor yang memengaruhi seperti cara penggunaan aset, perkiraan tentang jumlah perbaikan dan perawatan, serta kecepatan tingkat keusangan. Pengalaman masa lalu dengan aset yang sama juga seringkali membantu dalam menentukan masa manfaat yang diperkirakan.
c.       Nilai sisa (Salvage value)
Nilai sisa adalah estimasi nilai aset pada akhir masa manfaat. Nilai ini bisa berdasarkan pada nilai aset sebagai nilai rongsokan (scrap value) atau nilai pertukaran (trade in value). Seperti masa manfaat, nilai sisa merupakan estimasi. Dalam membuat estimasi, manajemen mempertimbangkan bagaimana rencana mereka untuk melepaskan aset dan pengalamannya dengan aset yang sama.

Metode Perhitungan Depresiasi
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung beban depresiasi periodik. Untuk dapat memilih salah satu metode hendaknya dipertimbangkan keadaan-keadaan yang mempengaruhi aktiva tersebut. Metode-metode itu ialah :
a.       Metode Garis Lurus (Straight Line Method)
Metode ini adalah metode depresiasi yang paling sederhana dan banyak digunakan. Dalam cara ini beban depresiasi tiap periode jumlahnya sama (kecuali kalau ada penyesuaian-penyesuaian). Satu-satunya dasar perhitungan metoda garis lurus adalah  adalah waktu. Depresiasi tiap tahun dihitung sebagai berikut:
 
Keterangan:
HP = Harga perolehan (cost).
NS = Nilai sisa (residu).
n    = Taksiran umur kegunaan.
b.      Metode Jam Jasa (Service Hours Method)
Metode ini didasarkan pada anggapan bahwa aktiva (terutama mesin-mesin) akan lebih cepat rusak bila digunakan sepenuhnya (full time) dibanding dengan penggunaan yang tidak sepenuhnya (part time). Depresiasi per jam dihitung sebagai berikut:
 
Keterangan:
      HP = Harga perolehan.
      NS = Nilai sisa.
      n    = Taksiran jam jasa.
c.       Metode Hasil Produksi (Productive Output Method)
Dalam metode ini umur kegunaan aktiva ditaksir dalam satuan jumlah unit hasil produksi. Beban depresiasi dihitung dengan dasar satuan hasil produksi, sehingga depresiasi tiap periode akan berfluktuasi sesuai dengan fluktuasi dalam hasil produksi. Depresiasi per unit produk dihitung sebagai berikut:
 
Keterangan:
      HP = Harga perolehan.
      NS = Nilai sisa.
      n    = Taksiran hasil produksi (unit).
d.      Metode Beban Berkurang (Reducing Charge Method)
Dalam metode ini beban depresiasi tahun-tahun pertama akan lebih besar daripada beban depresiasi tahun-tahun berikutnya. Metode ini didasarkan pada teori bahwa aktiva yang baru akan dapat digunakan dengan lebih efisien dibandingkan dengan aktiva yang lebih tua.
Ada 4 cara untuk menghitung beban depresiasi yang menurun dari tahun ke tahun, yaitu:
1)      Metode jumlah angka tahun (sum of year’s digits method)
Di dalam metode ini depresiasi dihitung dengan cara mengalikan bagian pengurang (reducing fractions) yang setiap tahunnya selalu menurun dengan harga perolehan dikurangi nilai residu. Bagian pengurang ini dihitung sebagai berikut:
Pembilang = bobot (weight) untuk tahun yang bersangkutan;
Penyebut   = jumlah angka tahun selama umur ekonomis aktiva atau jumlah angka bobot (weight).
Jika aktiva itu umur ekonomisnya panjang, maka penyebut (jumlah angka tahun) bisa dihitung dengan rumus sebagai berikut:
 
n = umur ekonomis
2)      Metode saldo menurun (declining balance method)
      Dalam cara ini beban depresiasi periodik dihitung dengan cara mengalikan tarif yang tetap dengan nilai buku aktiva. Tarif ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
 
     Keterangan:
      T    = Tarif.
                  n          =  umur ekonomis.
                  NS       =  Nilai sisa.
                  HP       = Harga perolehan.
3)      Double declining balance method
Dalam metode ini, beban depresiasi tiap tahunnya menurun. Untuk dapat menghitung beban depresiasi yang selalu menurun, dasar yang digunakan adalah persentase depresiasi dengan cara garis lurus. Persentase ini dikalikan dua dan setiap tahunnya dikalikan pada nilai buku aktiva tetap. Karena nilai buku selalu menurun maka beban depresiasi juga selalu menurun.
4)      Metode tarif menurun (declining rate on cost method)
Tarif (%) menurun ini setiap perode dikalikan dengan harga perolehan. Penurunan tarif (%) setiap periode dilakukan tanpa menggunakan dasar yang pasti, tetapi ditentukan berdasarkan kebijaksanaan pimpinan perusahaan. Karena tarif (%)-nya setiap peride selalu menurun maka beban depresiasinya juga selalu menurun.
4.       Analisis aktifitas
Menurut Hansen dan Mowen (1997) “Activity analysis is the process of indentifying, describing and evaluating activities an organization perform”.
Ada 4 langkah yang dilakukan dalam analisa aktivitas (Hansen dan Mowen,1997.h,394) yaitu:
a.       Aktivitas apa yang dikerjakan.
b.      Berapa banyak orang yang terlibat dalam aktivitas tersebut.
c.       Waktu dan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan aktivitas.
d.      Penaksiran value aktivitas bagi perusahaan.
Aktivitas penambah nilai (Value – added activities) adalah aktivitas untuk mempertahankan perusahaan atau bagiannya tetap bertahan dalam bisnisnya (kegiatan produksi atau jasa). Beberapa aktivitas penambah nilai merupakan aktivitas yang harus dilaksanakan (required activities) dan beberapa aktivitas penambah nilai lain merupakan aktivitas kebijakan (discretionary activities). Aktivitas penambah nilai yang berupa aktivitas kebijakan harus memenuhi persyaratan berikut ini:
1.   Aktivitas tersebut menyebabkan perubahan keadaan.
2.   Perubahan keadaan tidak dapat dicapai dengan aktivitas sebelumnya.
3.   Aktivitas tersebut memungkinkan aktivitas lain dapat dilaksanakan.
Aktivitas bukan penambah nilai (Non – Value – Added) merupakan aktivitas yang tidak diperlukan dalam menghasilkan value bagi customer. Aktivitas yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria aktivitas penambah nilai tersebut diatas merupakan aktivitas bukan penambah nilai. Penyimpangan dari dua karakteristik utama merupakan ciri khas aktivitas bukan penambah nilai.
Proses produksi yang ideal akan menghasilkan throughput time yang sama dengan processing time. Ukuran efisiensi proses produksi dihitung dengan membandingkan processing time dengan throughput time yang dikenal dengan istilah Manufacturing Cycle Efficiency (MCE). Seberapa besar aktivitas bukan penambah nilai dikurangi dan dihilangkan dari proses pembuatan produk dapat dapat diukur dengan MCE dengan format:
Jika proses pembuatan produk menghasilkan MCE sebesar 1, maka aktivitas bukan penambah nilai dapat dihilangkan dalam proses pengolahan produk, sehingga customer produk tersebut tidak dibebani dengan biaya-biaya untuk aktivitas bukan penambah nilai bagi mereka, sebaliknya  jika proses pembuatan produk menghasilkan MCE kurang dari satu berarti proses pengolahan produk masih mengandung aktivitas bukan penambah nilai bagi customer.
Dalam pengelolaan aktivitas, maka perlu diketahui aktivitas yang bukan penambah nilai perlu dikurangi dan dihilangkan serta aktivitas penambah nilai yang perlu dijadikan efisien dalam pelaksanaannya, serta bagaimana cara pengelolaannya. Dalam kegiatan manufaktur, terdapat lima golongan aktivitas bukan penambah nilai (Hansen dan Mowen, 1995), yaitu:
1.      Pembuatan Skedul. Penyusunan skedul adalah penggunaan waktu dan sumber daya untuk menentukan kapan berbagai produk yang berbeda dimasukkan ke dalam proses produksi dan bagaimana berbagai produk tersebut di produksi.
2.      Pemindahan. Pemindahan adalah aktivitas yang menggunakan waktu dan sumber daya untuk memindahkan bahan baku, produk dalam proses, dan produk jadi dari satu departemen ke departemen yang lain.
3.      Penantian. Penantian adalah aktivitas yang di dalamnya bahan baku dan produk dalam proses menggunakan waktu dan sumber daya dalam menunggu proses berikutnya.
4.      Inspeksi. Inspeksi adalah aktivitas yang mengkonsumsi waktu dan sumber daya untuk menjamin produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi mutu yang telah ditetapkan.
5.      Penyimpanan. Penyimpanan adalah aktivitas yang menggunakan waktu dan sumber daya selama produk dan bahan baku disimpan sebagai persediaan.
Kelima golongan aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang sebenarnya tidak menambah nilai bagi customer, sehingga dalam jangka panjang harus dihilangkan dari proses pembuatan produk.
Cara yang ditempuh untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan aktivitas penambah nilai dan mengurangi serta akhirnya menghilangkan aktivitas bukan penambah nilai dalam pengelolaan aktivitas adalah :
1.      Activity Reduction
Berusaha menurunkan waktu dan sumber daya dengan meningkatkan efisiensi aktivitas yang perlu dan menyusun strategi untuk memperbaiki aktivitas yang tidak menambah nilai sampai dapat di eliminasi.
2.      Activity Elimination
Pendekatan ini menganggap bahwa ada beberapa aktivitas yang tidak diperlukan. Jika aktivitas ini dapat diidentifikasikan maka badan usaha berusaha melepaskan diri dari aktivitas tidak menambah nilai tersebut.
2.      Activity Selection
Melakukan pemilihan untuk aktivitas yang paling efisien dari sekumpulan aktivitas yang berbeda yang di sebabkan oleh strategi persaingan, misalnya memilih strategi perancangan produk dengan biaya yang paling murah jika faktor yang lain sama.
4.      Activity Sharing
Meningkatkan efisiensi dari aktivitas yang perlu dengan menggunakan skala ekonomi. Dengan demikian kuantitas pemicu biaya (cost driver) meningkat tanpa peningkatan biaya dari pemicu biaya perunit dan jumlah biaya yang dibebankan ke produk yang mengkonsumsi aktivitas menjadi lebih rendah.
Jadi perusahaan yang melakukan analisis aktivitas mengarah pada penghematan biaya dengan perbaikan yang berkelanjutan, ini dipertegas oleh Hansen dan Mowen (1997) “Activity analysis is the key to achieving cost reduction objective continuos improvement carries with it the objective of cost reduction. Competitive condition dictate that companies must deliver product the customer want, ontime, and at the lowest possible cost.”

II.3 Pembangunan Berkelanjutan
II.3.1 Pengertian Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan, menurut Sumarwoto (dalam Sugandhy dan Hakim, 2007: 21), pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai:
“Perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial di mana masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan, dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya”.
Secara implisit, definisi tersebut menurut Hegley, Jr. 1992 mengandung pengertian strategi imperatif bagi pembangunan berkelanjutan sebagai berikut.
a.       Berorientasi untuk pertumbuhan yang mendukung secara nyata tujuan ekologi, sosial, dan ekonomi.
b.      Memperhatikan batas-batas ekologis dalam konsumsi materi dan memperkuat pembangunan kualitatif pada tingkat masyarakat dan individu dengan distribusi yang adil.
c.       Perlunya campur tangan pemerintah, dukungan, dan kerja sama dunia usaha dalam upaya konservasi dan pemanfaatan yang berbasis sumber daya.
d.      Perlunya keterpaduan kebijakan dan koordinasi pada semua tingkat dan antara yurisdiksi politik terkait dalam pengembangan energi bagi pertumbuhan kebutuhan hidup.
e.       Bergantung pada pendidikan, perencanaan, dan proses politik yang terinformasikan, terbuka, dan adil dalam pengembangan teknologi dan manajemen.
f.       Mengintegrasikan biaya sosial dan biaya lingkungan dari dampak pembangunan ke dalam perhitungan ekonomi.
Hampir senada dengan definisi di atas, Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar, dan terencana dalam proses pembangunan, berbasis lingkungan hidup untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”.
Pembangunan berkelanjutan, menurut Komisi dunia untuk Pembanguynan dan Lingkungan, PBB (dalam Soeriaatmadja 2000: 53), “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang tanpa kompromi akan tetapi memelihara Sumber Daya Alam/ Lingkungan Hidup untuk kepentingan generasi yang akan datang”.
Budimanta (2005) dalam buletin tata ruang edisi Januari-Februari 2009 menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan dating untuk menikmati dan memanfaatkannya. Dalam proses pembangunan berkelanjutan terdapat proses perubahan yang terencana, yang didalamnya terdapat eksploitasi sumberdaya, arah investasi orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan yang kesemuanya ini dalam keadaan yang selaras, serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

II.3.2 Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Pembangunan berkelanjutan tidak hanya berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Tetapi mencakup tiga lingkup kebijakan yaitu: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan (3 Pilar Pembangunan berkelanjutan). Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga pilar tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Idealnya, ketiga hal tersebut dapat berjalan bersama-sama dan menjadi focus pendorong dalam pembangunan berkelanjutan.

Dalam buku “Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21” (Buku 1) Sarosa menyampaikan bahwa pada era sebelum pembangunan berkelanjutan digaungkan, pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya tujuan bagi dilaksanakannya suatu pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Selanjutnya pada era pembangunan berkelanjutan saat ini ada 3 tahapan yang dilalui oleh setiap Negara. Pada setiap tahap, tujuan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi namun dengan dasar pertimbangan aspek-aspek yang semakin komprehensif dalam tiap tahapannya. Tahap pertama dasar pertimbangannya hanya pada keseimbangan ekologi. Tahap kedua dasar pertimbangannya harus telah memasukkan pula aspek keadilan sosial. Tahap ketiga, semestinya dasar pertimbangan dalam pembangunan mencakup pula aspek aspirasi politis dan sosial budaya dari masyarakat setempat. Tahapan-tahapan ini digambarkan sebagai evolusi konsep pembangunan berkelanjutan, seperti dalam Gambar berikut ini.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Djajadiningrat (2005) dalam buku Suistanable Future dalam
http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=123: Menggagas Warisan Peradaban bagi Anak Cucu, Seputar Pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat, menyatakan bahwa dalam pembangunan yang berkelanjutan terdapat aspek keberlanjutan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Keberlanjutan Ekologis
2. Keberlanjutan di Bidang Ekonomi
3. Keberlanjutan Sosial dan Budaya
4. Keberlanjutan Politik
5. Keberlanjutan Pertahanan Keamanan
Sedangkan Otto Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan enam tolok ukur pembangunan berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk pemerintah pusat maupun di daerah untuk menilai keberhasilan seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses pembangunan berkelanjutan. Keenam tolok ukur itu meliputi: a) pro lingkungan hidup; b) pro rakyat miskin; c) pro kesetaraan gender; d) propenciptaan lapangan kerja; e) pro dengan bentuk negara kesatuan RI; dan f) harus anti korupsi, kolusi serta nepotisme.

Tolok ukur pro lingkungan hidup (pro-environment) dapat diukur dengan berbagai indikator. Salah satunya adalah indeks kesesuaian,seperti misalnya nisbah luas hutan terhadap luas wilayah (semakin berkurang atau tidak), nisbah debit air sungai dalam musim hujan terhadap musim kemarau, kualitas udara, dan sebagainya. Berbagai bentuk pencemaran lingkungan dapat menjadi indikator yang mengukur keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan. Terkait dengan tolok ukur pro lingkungan ini, Syahputra (2007) mengajukan beberapa hal yang dapat menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan lingkungan yang dapat dijadikan indikator, yaitu:
·         Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi secara benar menurut kaidah ekologi.
·         Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi potensi lestarinyaserta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya takterbarukan(non-renewable resources).
·         Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran.
·         Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity).
Tolok ukur pro rakyat miskin (pro-poor) bukan berarti anti orang kaya. Yang dimaksud pro rakyat miskin dalam hal ini memberikan perhatian pada rakyat miskin yang memerlukan perhatian khusus karena tak terurus pendidikannya, berpenghasilan rendah, tingkat kesehatannya juga rendah serta tidak memiliki modal usaha sehingga daya saingnya juga rendah. Pro rakyat miskin dapat diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HumanDevelopment Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI) yang dikembangkan PBB. Kedua indikator ini harus dilakukan bersamaan sehingga dapat dijadikan tolok ukur pembangunan yang menentukan. Nilai HDI dan HPI yang meningkat akan dapat menunjukkan pembangunan yang pro pada rakyat miskin.

Tolok ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women), dimaksudkan untuk lebih banyak membukakesempatan pada kaum perempuan untuk terlibat dalamarus utama pembangunan. Kesetaraan jender ini dapatdiukur dengan menggunakan Gender-related.Develotmenta.Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM) untuk suatu daerah.Jika nilai GDI mendekati HDI, artinyadi daerah tersebut hanya sedikitterjadi disparitas jender dan kaumperempuan telah semakin terlibat dalam proses pembangunan. 
 
Tolok ukur pro pada kesempatan hidup atau kesempatan kerja
(pro-livelihood opportunities) dapat diukur dengan menggunakan berbagai indikator seperti misalnya indikator demografi (angkatan kerja, jumlah penduduk yang bekerja, dan sebagainya), index gini, pendapatan perkapita, dan lain-lain. Indikator Kesejahteraan Masyarakat juga dapat menjadi salah satu hal dalam melihat dan menilai tolok ukur ini

Pemikiran-pemikiran tentang syarat-syarat tercapainya proses pembangunan berkelanjutan
 
 

Tolok ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI merupakan suatu keharusan, karena pembangunanberkelanjutan yang dimaksud adalah untuk bangsaIndonesia yang berada dalam kesatuan NKRI.

Tolok ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilihat dari berbagai kasus yang dapat diselesaikanserta berbagai hal lain yang terkait dengan gerakan anti KKN yang digaungkan di daerah bersangkutan.Buah pemikiran pakar lingkungan ini sejalan denganbuah pemikiran beberapa konseptor pembangunan berkelanjutan yang dirangkum oleh Gondokusumo (2005),dimana disebutkan syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuktercapainya proses pembangunan berkelanjutan (Tabel1). Syarat-syarat tersebut secara umum terbagi dalam 3 indikator utama, yaitu:
1.      Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
2.      Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material.
3.      Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan untuk suatu proses pembangunan berkelanjutan, maka perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:
1)      Cara berpikir yang integratif.
Dalam konteks ini, pembangunan haruslah melihat keterkaitan fungsional dari kompleksitas antara sistem alam, sistem sosial dan manusia di dalam merencanakan, mengorganisasikan maupun melaksanakan pembangunan tersebut.
2)      Pembangunan berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka panjang.
Hingga saat ini yang banyak mendominasi pemikiran para pengambilkeputusan dalam pembangunan adalah kerangkapikir jangka pendek, yang ingin cepat mendapatkanhasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan.Kondisi ini sering kali membuat keputusan yangtidak memperhitungkan akibat dan implikasi padajangka panjang, seperti misalnya potensi kerusakanhutan yang telah mencapai 3,5 juta Ha/tahun, banjiryang semakin sering melanda dan dampaknya yang semakin luas, krisis energi (karena saat ini kita telahmenjadi nett importir minyak tanpa pernah melakukanlangkah diversifi kasi yang maksimal ketika masih dalamkondisi surplus energi), moda transportasi yang tidakberkembang, kemiskinan yang sulit untuk diturunkan,dan seterusnya.
3)      Mempertimbangkan keanekaragaman hayati, untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa mendatang.
Yang tak kalah pentingnya adalah juga pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakukan yang merata terhadap berbagai tradisi masyarakat sehingga dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
4)      Distribusi keadilan sosial ekonomi. Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan meratanya sumber daya lahan dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan kesempatan kepada setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan melalui pemerataan ekonomi 
Ada dua makna gagasan yang terkandung didalam cara pandang pembangunan berkelanjutan yaitu: gagasan kebutuhan, yaitu kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan kehidupan manusia dan gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organiasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. (http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2007/06/bagaimana-konsep-pembangunan-kota-.)
Pembangunan berkelanjutan juga mensyaratkan adanya pemeliharaan keanekaragaman. Pemeliharaan keanekaragaman hayati untuk memastikan bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Yang tak kalah pentingnya adalah pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakuan yang merata terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
II.3.3 Pihak-pihak yang berperan dalam pembangunan berkelanjutan
1.      Pemerintah
Peran pemerintah adalah sebagai regulator yang memampukan para pelaku, menjamin terjadinya tata kelola yang adil dan proporsional, serta penyedia layanan dasar perkotaan, kawasan-kawasan penyangga perkotaan (ruang terbuka hijau: taman, hutan kota, dan badan-badan air: sungai, danau/situ/bendung dll). Dalam menjalankan fungsi pemerintah sebagai dan , kepala daerah dapat memainkan peran yang sangat penting dalam mendorong daya kreatif dalam pengelolaan kawasan perkotaan, baik di jajaran pemerintah maupun masyarakat dan dunia usaha.

2.      Dunia Usaha
Peran dunia usaha adalah sebagai motor pengembangan nilai tambah, peningkatan produksi dan distribusi, menyediakan layanan penyediaan barang dan jasa yang berkualitas dan efisien, serta pembangun perkotaan yang nyaman, produktif, dan menarik untuk dikunjungi. Pengalaman selama ini menunjukkan pelaku dunia usaha memiliki potensi besar untuk mewujudkan perkotaan yang berkelanjutan, antara lain, melalui penyediaan perumahan yang layak huni dan ruang terbuka hijau sebagai bagian dari (CSR).

3.      Masyarakat
Peran masyarakat adalah sebagai pengguna sekaligus pembangun perkotaan melalui pengembangan permukiman yang sehat dan teratur, memelihara kebersihan dan penghijauan kawasan pemukiman, menjaga keseimbangan penggunaan air tanah dengan membangun sumur resapan dll. Masyarakat sipil yang  terorganisasi juga berperan sebagai sistem kontrol publik yang efektif melalui organisasi pemantauan kinerja pemerintah, kegiatan perencanaan dan penganggaran pembangunan partisipatif, dan berbagai pemikiran atau masukan kebijakan untuk mengembangkan tata kelola publik yang lebih baik.

Upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik hanya dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran ketiga pilar yaitu pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat. Memang pada dasarnya bidang jalan adalah sektor yang tidak layak secara finansial, karena sifat infrastruktur itu sendiri, sehingga hanya sebagian kecil dari total panjang jaringan jalan yang dapat dikomersialkan. Pengalaman negara-negara seperti Malaysia (north and south) dan Korea Selatan menunjukkan bahwa pada awalnya untuk mendongkrak keterlibatan swasta diperlukan seperti kontribusi pemerintah untuk membangun Jalan Tol, setelah itu baru diserahkan kepada swasta. Tidak hanya swasta saja, kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat merupakan hal yang harus terus dikembangkan. Ketiganya mempunyai peran masing-masing. Pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) memainkan peran menjalankan dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain dalam pemerintahan. Dunia usaha swasta berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan pendapatan. Peran swasta dapat terkait dalam mitra kerja dimana pemerintah memerlukan bantuan dalam hal peningkatan dan penyelesaian kegiatan pembangunan. Peran lain dari swasta adalah sebagai salah satu sumber pendanaan bagi pemerintah (investor). Dengan adanya pendanaan yang cukup, maka pembangunan oleh pemerintah akan lebih baik pelaksanaannya. Masyarakat berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi, dan politik. Masyarakat juga dapat berperan sebagai pengawas pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Pada Undnag-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menjelaskan bahwa masyarakat juga memiliki andil dalam preservasi jalan. Ketiga unsur tersebut dalam memainkan perannya masing-masing harus sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tata kepemerintahan yang baik (Bappenas, 2007) dalam Rencana Strategis 2010-2014 Direktorat Jenderal Bina Marga hal 37-38.
Untuk mewujudkan kemitraan yang saling menguntungkan, diperlukan saling percaya antar pihak yang bermitra, dan untuk membentuk saling percaya diperlukan pembentukan pemahaman bersama dan nilai bersama. Dengan adanya pemahaman dan nilai-nilai bersama, pihak-pihak yang terlibat akan terdorong untuk menyelenggarakan kegiatan bersama (“Renewing Governance: Governing by Learning in the Information Age”, StevenA.Rosell, 1999) dalam sudforum.penataanruang.net/download/Soundinkit.pdf


III.              KESIMPULAN
Dengan menerapakan strategic cost reduction dan kerjasama yang baik antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat maka dapat terwujud pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan dengan efisiensi dan biaya seminimum mungkin dengan tetap mempertahankan kualitas dari pembangunan tersebut.

Beberapa metode yang termasuk pada strategic cost reduction yaitu:
1.      Kaizen costing;
2.      Activity Based Costing (ABC);
3.      Depresiasi (Penyusutan); dan
4.      Analisis aktivitas.





DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhamad. 2007. “Sustainability dalam bidang Material, Rekayasa, dan Konstruksi” Prosiding Konstruksi Ramping untuk Mencapai Konstruksi yang Berkelanjutan hal 213 - 225,  Indonesia.
Blocher, Edward, Kung H. Chen, and Thomas W. Lin. 2002. Cost Management: A Strategic Emphasis. International Edition. New York: McGraw- Hill Companies International, Inc.
Bunga, Rampai. 2005. Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, Konsep dan Pedekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI
Cooper, Robin. 1995. When Lean Enterprises Collide: Competing Through Confrontation. Boston: Harvard Business School Press.
Dipohusodo, Istimawan 1996. Manajemen Proyek dan Konstruksi Jilid 2. Yogyakarta : Kanisius.
Direktorat Jenderal Bina Marga. 2010. Rencana Strategis 2010-2014 Direktorat Jenderal Bina Marga. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum.
Garrison, Ray. H. and Eric W. Noreen. 2003. Concept for Planning, Controling, Decision Making. Managerial Accounting. Tenth Edition. Richard D. Irwin Inc.
Hansen Don R., and Maryanne M. Mowen. 2003. Management Accounting. Sixth Edition. Ohio : South Western Publishing Co.
Hilton, Ronald W. 1999. Managerial Accounting. Fourth Edition. New York. McGraw-Hill Companies International, Inc.
Kaplan, Robert. S dan Cooper, Robin. 1998. Cost and effect: using integrated cost systems to drive profitabiliti and performance. Harvard Business School Press, Unitrd States of America
Mulyadi. 2005. Akuntansi Biaya. Edisi Kelima. Yogyakarta : UPP AMP YKPN
Soeriaatmadja, R. E. 2000. Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Sugandhy, Aca dan Rustam Hakim. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan, Cet. I, Bumi Aksara, Jakarta.
Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Tim, McCormmick. 2010. Accountancy Ireland Volume 42: Strategic Cost Reduction Steps to Success Pages: 56-58. Ireland: Institute of Chartered Accountants In Ireland
Weygandt, Jerry J, Kieso, Donald E dan Kimmel, Paul D. 2007. Accounting Princiles. Edisi ke-7. Salemba Empat, Jakarta.
sudforum.penataanruang.net/download/Soundinkit.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar