MATA KULIAH
SEMINAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN
TUGAS INDIVIDU
Dosen : Dr. H. HARRY SUHARMAN., SE, MA, Ak
DI SUSUN OLEH:
ANJELITA
120620120505
MAGISTER AKUNTANSI – KEMENPU
FAKULTAS EKONOMI
DAN BISNIS
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2013
STRATEGIC
COST REDUCTION UNTUK MENCAPAI KONSTRUKSI YANG BERKELANJUTAN
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Indonesia
sebagai negara berkembang perlu menciptakan lingkungan kehidupan yang berkualitas, seperti kualitas
lingkungan yang baik, fasilitas fisik yang sehat, peningkatan produktifitas
dari masyarakat, dan penggunaan sumber daya energi seminimal mungkin. Kebutuhan
akan fasilitas fisik sarana dan prasarana untuk mendukung kehidupan bukan hanya
diperlukan untuk saat ini, akan tetapi diperlukan pula untuk kehidupan yang
akan datang. Pembangunan fasilitas fisik yang memperhatikan aspek keberlanjutan
(sustainable development) tentu
menjadi proyek konstruksi pemerintah.
Pemenuhan
konsep konstruksi yang berkelanjutan ini memberikan konsekuensi kepada industri
konstruksi unruk menambah syarat atau spesifikasi yang pada akhirnya
membutuhkan peningkatan jumlah serta kualitas sumber daya yang lebih, seperti
kebutuhan akan tenaga profesional multidisiplin, tingkat analisa yang lebih
dalam dan kompleks, pemilihan material
dan metoda yang lebih hati-hati, kebutuhan sertifikasi, dan lain-lain. Pada
akhirnya, semua konsekuensi dari konstruksi yang berkelanjutan akan
meningkatkan biaya konstruksi cukup signifikan mulai 5% hingga 10% (Smith, A
dalam Lapinski 2006 dalam Abduh, Muhamad).
Permasalahan
industri konstruksi yaitu pada ketidakefisienan dalam pelaksanaan proses
konstruksi. Banyak terjadi pemborosan yang menggunaka sumber daya akan tetapi tidak
menghasilkan nilai yang diharapkan. Dalam hal ini penerapan strategic cost reduction diharapkan dapat mengurangi
ketidakefisienan tersebut.
I.2 Tujuan
Untuk memperoleh gambaran mengenai manfaat strategic cost
reduction jika diterapkan dalam konstruksi untuk pembangunan yang berkelanjutan.
I.3 Rumusan
Masalah
Bagaimana
penerapan strategic cost reduction dapat memberikan manfaat untuk pembangunan
yang berkelanjutan.
II. ISI
II.1
Konsep cost reduction
Cost reduction
terjadi ketika dilakukan pengaturan suatu aktivitas yang berhubungan dengan
proses produksi dapat mengurangi biaya produksi dengan menghilangkan biaya yang
tidak perlu.
Cost reduction
memfokuskan pengurangan biaya pada
penyebab timbulnya pemborosan yaitu kualitas. Pengurangan biaya hanya merupakan
hasil dari quality improvement yang
dilaksanakan untuk menghasilkan produk di dalam proses pembuatan produk, perusahaan
mampu melaksanakan peningkatan kualitas secara berkelanjutan, biaya pembuatan
produk akan berkurang sebagai hasil dari peningkatan kualitas tersebut. Oleh
karena itu, dalam strategi cost reduction
pengurangan biaya terjadi sebagai hasil dari peningkatan bertahap terhadap
kualitas, keandalan dan kecepatan.
Cara
terbaik dalam mengurangi biaya adalah mengeliminasi kelebihan penggunaan sumber
daya dalam proses produksi. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam usaha mengurangi biaya khususnya biaya produksi
adalah :
1. Meningkatkan
kualitas proses kerja sehingga dapat
mengurangi kesalahan.
2. Meningkatkan
produktivitas
3. Mengurangi
tingkat persediaan
4. Memperpendek
atau mengeliminasi lini produksi
5. Mengurangi
gangguan pada mesin atau mesin yang berhenti selama proses produksi agar tidak
menimbulkan kelebihan Work In Process
6. Mengurangi
tempat atau ruang
7. Mempersingkat
waktu tempuh produksi.
Senada dengan
pengurangan biaya di atas (Tim, 2012) mengatakan bahwa “The ten important steps
to achieving successful strategic cost reduction are:
1.
Set a minimum cost reduction target.
2.
Establish whether budgeting can achieve
the target.
3.
Place cost reduction into the wider
strategy of the business.
4.
Identify the economic drivers of cost.
5.
Analyze costs with the value chain.
6.
Select appropriate tools from the
operational toolbox.
7.
Consider outsourcing non-core
activities.
8.
Restructure the labor force.
9.
Manager the change process carefully.
10. Monitor
the results diligently.”
Sepuluh langkah
penting untuk mencapai
penurunan
biaya strategis yang sukses adalah:
1. Menetapkan
target minimum pengurangan biaya.
2. Menentukan
apakah penganggaran
dapat
mencapai target.
3. Tempatkan
pengurangan biaya ke dalam strategi yang lebi h luas dari bisnis.
4. Mengidentifikasi
ekonomi biaya driver.
5. Menganalisis
biaya dengan nilai rantai.
6. Pilih alat yang
tepat dari toolbox operasional.
7. Pertimbangkan kegiatan non-core outsourcing.
8.
Merestrukturisasi angkatan kerja.
9. Mengelola proses
perubahan.
10. Memantau hasil dengan
cermat.
Jadi
tujuan melakukan cost reduction bukan
hanya untuk mencapai standar yang ditetapkan tapi juga untuk mengurangi biaya
secara bertahap agar terjadi efisiensi, sehingga biaya yang dikeluarkan dapat
diminimumkan dan laba yang diperoleh maksimal. Disamping itu yang terpenting adalah kualitas produk
tetap dipertahankan sehingga kualitasnya tidak menurun.
II.2
Metoda yang termasuk dalam cost reduction
1.
Kaizen
costing
Kaizen
costing berasal dari bahasa Jepang. Di Jepang Kaizan costing dikenal dengan
genka kaizen yang berasal dari kata genka yang berarti harga pokok dan kaizen
berarti penyempurnaan berkesinambungan. Kaizen merupakan istilah yang digunakan
oleh bangsa Jepang untuk melakukan perbaikan yang berkelanjutan (Continuous Improvement). Salah satu bentuk
dari usaha kaizen yaitu berwujud pengurangan biaya produksi.
Menurut
Cooper dalam Kaplan (1998, hal 58) “Kaizen
Costing is a continuos improvement applied to cost reduction in the
manufacturing stage of a product’s life”. Kaizen costing adalah sistem yang mendukung proses pengurangan
biaya secara berkesinambungan pada tahap produksi. Tujuan dari kaizen costing adalah mengurangi biaya
yang terjadi pada proses produksi dengan melakukan perbaikan yang
berkesinambungan (Continuous Improvement)
pada setiap kegiatan produksi perusahaan sehingga tercapai efisiensi dan
efektivitas secara terus menerus.
Kaizen costing
tidak hanya sekedar ditujukan untuk mengurangi biaya, tetapi juga untuk
meningkatkan kualitas produk dan keamanan dari proses produksi atau usaha perusahaan
tersebut. Kaizen costing lebih
memfokuskan pada proses produksi perusahaan dan bertujuan mengeliminasi
aktivitas-aktivitas yang tidak efisien yang mungkin terjadi selama dalam proses
produksi tersebut. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Cooper 1995 Hal 240 “The aim of kaizen costing program is to
remove unnecessary inefficiencies from production process”.
Pengurangan
biaya merupakan jantung dari kaizen costing program. Menurut Hilton (1997) “The Japanese word refers to continual and
gradual improvement through small betterment activities, rather than large or
radical improvement made through innovation of large investment intechnology.
Badan
usaha yang menerapkan kaizen costing
hanya melakukan perubahan kecil namun berkesinambungan. Hal ini disebabkan
karena peningkatan kearah yang lebih baik (improvement)
adalah tujuan dan tanggungjawab setiap pekerja, mulai dari tingkat manager
sampai dengan level terendah dalam setiap aktivitas, serta dilakukan kapan
saja.
Berdasarkan
paradigma continuous improvement,
setiap periode tertentu, produsen merencanakan improvement yang akan dilakukan terhadap sistem dan proses
pembuatan produk. Rencana improvement
tersebut dinyatakan dalam cost reduction
target yang akan dicapai dalam periode tertentu, yang didukung dengan
rencana pengurangan dan penghilangan berbagai aktivitas penambah nilai (value-added activities). Fokus perhatian produsen diarahkan kepada cost reduction target yang merupakan selisih antara target cost dengan estimated actual cost yang diperkirakan akan terjadi selama periode
tertentu.
Cost
Reduction Target = Target Cost – Estimated Actual Cost
Penentuan Cost
reduction target (Target Usaha Kaizen), yang hendak dicapai adalah sebagai
berikut :
Cost
Reduction Target = HPPAktual - HPPtarget
Dalam standart
costing, fokus perhatian produsen terletak pada bagaimana mencapai standart
cost yang telah ditetapkan sebelumnya atas dasar kondisi proses produksi
terkini. Di lain pihak, kaizen costing memfokuskan perhatian produsen ke arah
cost reduction target yang didasarkan pada kondisi proses produksi yang
improvementnya direncanakan akan dilaksanakan dalam periode tertentu.
2.
Activity based costing
Beberapa ahli manajemen memberikan definisi Activity Based Costing (ABC) sebagai
berikut :
1) Menurut Mulyadi (2003:40) Activity Based Costing systems (ABC systems) adalah: “Activity
Based Costing adalah sistem informasi biaya yang berorientasi pada
penyediaan informasi lengkap tentang aktivitas untuk memungkinkan personel
perusahaan melakukan pengelolaan terhadap aktivitas. Sistem informasi ini
menggunakan aktivitas sebagai basis serta pengurangan biaya dan penentuan
secara akurat biaya produk atau jasa sebagai tujuan. Sistem informasi ini
diterapkan dalam perusahaan manufaktur, jasa, dan dagang”.
2) Hilton, Maher, dan Selto (2006:14)
memberikan pengertian Activity Based
Costing sebagai berikut: “Activity Based Costing or ABC is a costing method
that first assigns costs to activies and then to goods services based on how
much each good or service use the activities”.
3)
Hansen dan Mowen, mendefinisikan Activity
Based Costing sebagai berikut : Suatu sistem kalkulasi biaya yang pertama kali menelusuri
biaya ke aktivitas dan kemudian ke produk.
Berdasarkan
definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Activity Based Costing adalah suatu pendekatan terhadap sistem
akuntansi yang memfokuskan pada aktivitas titik akumulasi biaya yang mendasar yang
dilakukan untuk memproduksi produk. Perhitungan biaya berdasarkan aktivitas ini
didasarkan pada konsep produk yang mengkonsumsi aktivitas dan aktivitas
mengkonsumsi sumber daya. Dengan metode ini manajemen diharapkan dapat
mengurangi atau menghilangkan aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah.
Langkah-langkah Penerapan Metode Actvity Based Costing (ABC)
Langkah-langkah dalam menerapkan metode Activity Based Costing adalah sebagai
berikut:
Menurut Hansen dan Mowen
(2003:122-127), proses penerapan Activity
Based Costing systems dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1) Tahap Pertama
Pada tahap pertama dalam penerapan
sistem ABC adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi aktivitas
2.
Membebankan
biaya ke pool biaya aktivitas
3.
Aktivitas yang berkaitan dikelompokkan
untuk membentuk kumpulan sejenis.
4.
Biaya aktivitas yang dikelompokkan
dijumlah untuk mendefinisikan kelompok biaya sejenis
5.
Menghitung tarif (overhead) kelompok.
2)
Tahap Kedua
Dalam tahap ini
biaya setiap kelompok overhead ditelusuri ke produk dengan menggunakan tarif
kelompok yang dikonsumsi oleh masing-masing produk, sehingga biaya aktivitas
yang ada dibebankan kepada produk terhadap setiap aktivitas. Kemudian biaya
overhead perunit diperoleh dengan menelusuri biaya-biaya overhead dari
kelompok-kelompok tertentu pada produk. Total biaya tersebut kemudian dibagi dengan jumlah unit yang
diproses dan akan menghasilkan biaya overhead perunit.
Menurut Blocher, Chen, dan Lin
(2002:109) terdapat tiga langkah utama dalam merancang sebuah ABC systems, yaitu:
1. Mengidentifikasi biaya sumber daya
dan aktivitas
2. Membebankan biaya sumber daya ke
aktivitas
3. Membebankan biaya aktivitas ke objek
biaya
Garrison dan Noreen (2003:322)
membagi proses penerapan Activity Based
Costing systems menjadi enam tahap:
1. Mengidentifikasi
dan mendefinisikan aktivitas dan pool aktivitas
2.
Bila mungkin, menelusuri langsung ke
aktivitas dan objek biaya
3.
Membebankan
biaya ke pool biaya aktivitas
4.
Menghitung
tarif aktivitas
5.
Membebankan
biaya ke objek biaya dengan menggunakan tarif aktivitas dan ukuran aktivitas.
6. Menyusun laporan manajemen
.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas
dapat disimpulkan bahwa secara umum tahap-tahap
penerapan sistem ABC adalah:
1) mengidentifikasikan aktivitas
utama dan membuat kamus aktivitas,
2) menentukan biaya
aktivitas-aktivitas tersebut,
3) mengidentifikasikan ukuran
konsumsi untuk biaya aktivitas (penggerak aktivitas),
4) menghitung tarif aktivitas,
5) mengukur permintaan aktivitas
tiap produk,
6) menghitung biaya produk.
3.
Depresiasi (Penyusutan)
Depresiasi adalah sebagian dari harga perolehan aktiva tetap yang secara
sistematis dialokasikan menjadi biaya setiap periode akuntansi. Comittee on
terminology dari AICPA memberikan definisi sebagai berikut :
“Akuntansi depresiasi adalah suatu sistem akuntansi yang
bertujuan untuk membagikan harga perolehan atau nilai dasar lain dari aktiva
tetap berwujud, dikurangi nilai sisa (jika ada), selama umur kegunaan unit itu
yang ditaksir (mungkin berupa suatu kumpulan aktiva-aktiva) dalam suatu yang
sistematis dan rasional. Ini merupakan proses alokasi, bukan penilaian.”
Sejalan
dengan definisi di atas wegandt dalam accounting Principles edisi 7 hal 570
mendefinisikan “depresiasi sebagai alokasi biaya dari aset tetap menjadi beban
selama masa manfaatnya berdasarkan cara yang sistematis dan rasional”.
Faktor-faktor yang menyebabkan depresiasi bisa
dikelompokkan menjadi dua, yakni :
a.
Faktor-faktor
fisik
Faktor-faktor fisik yang mengurangi fungsi aktiva tetap
adalah aus karena dipakai (wear and tear), aus karena umur (deterioration and
decay) dan kerusakan-kerusakan.
b.
Faktor-faktor
fungsional
Faktor-faktor fungsional yang membatasi umur aktiva tetap
antara lain, ketidakmampuan aktiva untuk memenuhi kebutuhan produksi sehingga
perlu diganti dan karena adanya perubahan permintaan terhadap barang atau jasa
yang dihasilkan, atau karena adanya kemajuan teknologi sehingga aktiva tersebut
tidak ekonomis lagi jika dipakai.
Faktor-faktor
dalam Menentukan Biaya Depresiasi
Ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
menentukan beban depresiasi setiap periode (Weegant, hal 571). Faktor-faktor itu ialah :
a.
Harga perolehan (cost)
Harga
perolehan memengaruhi biaya dari aset yang dapat disusutkan. Harga perolehan yaitu uang yang dikeluarkan atau utang yang timbul dan
biaya-biaya lain yang terjadi dalam memperoleh suatu aktiva dan menempatkannya
agar dapat digunakan.
b.
Masa Manfaat (useful life)
Masa
manfaat adalah estimasi masa produktif yang diperkirakan, yang disebut juga
dengan umur manfaat (service life).
Masa manfaat dapat dinyatakan dalam satuan waktu, unit aktivitas (seperti jam
kerja mesin), atau jumlah unit yang dihasilkan. Masa manfaat merupakan estimasi
(perkiraan). Dalam membuat estimasi, manajemen mempertimbangkan berbagai faktor
yang memengaruhi seperti cara penggunaan aset, perkiraan tentang jumlah
perbaikan dan perawatan, serta kecepatan tingkat keusangan. Pengalaman masa
lalu dengan aset yang sama juga seringkali membantu dalam menentukan masa
manfaat yang diperkirakan.
c.
Nilai
sisa (Salvage value)
Nilai sisa adalah estimasi nilai
aset pada akhir masa manfaat. Nilai ini bisa berdasarkan pada nilai aset
sebagai nilai rongsokan (scrap value)
atau nilai pertukaran (trade in value).
Seperti masa manfaat, nilai sisa merupakan estimasi. Dalam membuat estimasi,
manajemen mempertimbangkan bagaimana rencana mereka untuk melepaskan aset dan
pengalamannya dengan aset yang sama.
Metode
Perhitungan Depresiasi
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung
beban depresiasi periodik. Untuk dapat memilih salah satu metode hendaknya
dipertimbangkan keadaan-keadaan yang mempengaruhi aktiva tersebut.
Metode-metode itu ialah :
a.
Metode
Garis Lurus (Straight Line Method)
Metode ini adalah metode depresiasi yang paling sederhana
dan banyak digunakan. Dalam cara ini beban depresiasi tiap periode jumlahnya
sama (kecuali kalau ada penyesuaian-penyesuaian). Satu-satunya
dasar perhitungan metoda garis lurus adalah
adalah waktu. Depresiasi
tiap tahun dihitung sebagai berikut:
Keterangan:
HP = Harga
perolehan (cost).
NS = Nilai sisa
(residu).
n = Taksiran umur kegunaan.
b.
Metode
Jam Jasa (Service Hours Method)
Metode ini didasarkan pada anggapan bahwa aktiva
(terutama mesin-mesin) akan lebih cepat rusak bila digunakan sepenuhnya (full time) dibanding dengan penggunaan
yang tidak sepenuhnya (part time).
Depresiasi per jam dihitung sebagai berikut:
Keterangan:
HP = Harga
perolehan.
NS = Nilai
sisa.
n = Taksiran jam jasa.
c.
Metode
Hasil Produksi (Productive Output Method)
Dalam metode ini umur kegunaan aktiva ditaksir dalam
satuan jumlah unit hasil produksi. Beban depresiasi dihitung dengan dasar
satuan hasil produksi, sehingga depresiasi tiap periode akan berfluktuasi
sesuai dengan fluktuasi dalam hasil produksi. Depresiasi per unit produk
dihitung sebagai berikut:
Keterangan:
HP = Harga
perolehan.
NS = Nilai
sisa.
n = Taksiran hasil produksi (unit).
d.
Metode
Beban Berkurang (Reducing Charge Method)
Dalam metode ini beban depresiasi tahun-tahun pertama
akan lebih besar daripada beban depresiasi tahun-tahun berikutnya. Metode ini
didasarkan pada teori bahwa aktiva yang baru akan dapat digunakan dengan lebih
efisien dibandingkan dengan aktiva yang lebih tua.
Ada 4 cara untuk menghitung beban depresiasi yang menurun
dari tahun ke tahun, yaitu:
1)
Metode
jumlah angka tahun (sum of year’s digits
method)
Di dalam metode ini depresiasi dihitung dengan cara
mengalikan bagian pengurang (reducing
fractions) yang setiap tahunnya selalu menurun dengan harga perolehan
dikurangi nilai residu. Bagian pengurang ini dihitung sebagai berikut:
Pembilang = bobot (weight)
untuk tahun yang bersangkutan;
Penyebut = jumlah
angka tahun selama umur ekonomis aktiva atau jumlah angka bobot (weight).
Jika aktiva itu
umur ekonomisnya panjang, maka penyebut (jumlah angka tahun) bisa dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
n = umur ekonomis
2)
Metode
saldo menurun (declining balance method)
Dalam cara ini beban depresiasi periodik
dihitung dengan cara mengalikan tarif yang tetap dengan nilai buku aktiva.
Tarif ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
T = Tarif.
n
=
umur ekonomis.
NS
=
Nilai sisa.
HP = Harga perolehan.
3) Double
declining balance method
Dalam metode ini, beban depresiasi tiap tahunnya menurun.
Untuk dapat menghitung beban depresiasi yang selalu menurun, dasar yang
digunakan adalah persentase depresiasi dengan cara garis lurus. Persentase ini
dikalikan dua dan setiap tahunnya dikalikan pada nilai buku aktiva tetap.
Karena nilai buku selalu menurun maka beban depresiasi juga selalu menurun.
4) Metode tarif menurun (declining
rate on cost method)
Tarif (%) menurun ini setiap perode dikalikan dengan harga perolehan.
Penurunan tarif (%) setiap periode dilakukan tanpa menggunakan dasar yang
pasti, tetapi ditentukan berdasarkan kebijaksanaan pimpinan perusahaan. Karena
tarif (%)-nya setiap peride selalu menurun maka beban depresiasinya juga selalu
menurun.
4.
Analisis
aktifitas
Menurut Hansen dan Mowen (1997) “Activity analysis is the process of indentifying, describing and
evaluating activities an organization perform”.
Ada 4 langkah yang dilakukan dalam analisa aktivitas
(Hansen dan Mowen,1997.h,394) yaitu:
a.
Aktivitas
apa yang dikerjakan.
b.
Berapa
banyak orang yang terlibat dalam aktivitas tersebut.
c.
Waktu
dan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan aktivitas.
d.
Penaksiran
value aktivitas bagi perusahaan.
Aktivitas penambah nilai (Value – added activities) adalah aktivitas untuk mempertahankan
perusahaan atau bagiannya tetap bertahan dalam bisnisnya (kegiatan produksi
atau jasa). Beberapa aktivitas penambah nilai merupakan aktivitas yang harus
dilaksanakan (required activities)
dan beberapa aktivitas penambah nilai lain merupakan aktivitas kebijakan (discretionary activities). Aktivitas
penambah nilai yang berupa aktivitas kebijakan harus memenuhi persyaratan
berikut ini:
1.
Aktivitas
tersebut menyebabkan perubahan keadaan.
2.
Perubahan
keadaan tidak dapat dicapai dengan aktivitas sebelumnya.
3.
Aktivitas
tersebut memungkinkan aktivitas lain dapat dilaksanakan.
Aktivitas bukan penambah nilai (Non – Value – Added) merupakan aktivitas yang tidak diperlukan
dalam menghasilkan value bagi customer. Aktivitas yang tidak memenuhi
salah satu dari tiga kriteria aktivitas penambah nilai tersebut diatas
merupakan aktivitas bukan penambah nilai. Penyimpangan dari dua karakteristik
utama merupakan ciri khas aktivitas bukan penambah nilai.
Proses produksi yang ideal akan menghasilkan throughput time yang sama dengan processing time.
Ukuran efisiensi proses produksi dihitung dengan
membandingkan processing time dengan throughput time yang dikenal dengan
istilah Manufacturing Cycle Efficiency
(MCE). Seberapa besar aktivitas bukan penambah nilai dikurangi dan dihilangkan
dari proses pembuatan produk dapat dapat diukur dengan MCE dengan format:
Jika proses pembuatan produk menghasilkan MCE sebesar 1,
maka aktivitas bukan penambah nilai dapat dihilangkan dalam proses pengolahan
produk, sehingga customer produk
tersebut tidak dibebani dengan biaya-biaya untuk aktivitas bukan penambah nilai
bagi mereka, sebaliknya jika proses
pembuatan produk menghasilkan MCE kurang dari satu berarti proses pengolahan
produk masih mengandung aktivitas bukan penambah nilai bagi customer.
Dalam pengelolaan aktivitas, maka perlu diketahui
aktivitas yang bukan penambah nilai perlu dikurangi dan dihilangkan serta
aktivitas penambah nilai yang perlu dijadikan efisien dalam pelaksanaannya,
serta bagaimana cara pengelolaannya. Dalam kegiatan manufaktur, terdapat lima
golongan aktivitas bukan penambah nilai (Hansen dan Mowen, 1995), yaitu:
1.
Pembuatan
Skedul. Penyusunan skedul adalah penggunaan waktu dan sumber daya untuk
menentukan kapan berbagai produk yang berbeda dimasukkan ke dalam proses
produksi dan bagaimana berbagai produk tersebut di produksi.
2.
Pemindahan.
Pemindahan adalah aktivitas yang menggunakan waktu dan sumber daya untuk
memindahkan bahan baku, produk dalam proses, dan produk jadi dari satu
departemen ke departemen yang lain.
3.
Penantian.
Penantian adalah aktivitas yang di dalamnya bahan baku dan produk dalam proses
menggunakan waktu dan sumber daya dalam menunggu proses berikutnya.
4.
Inspeksi.
Inspeksi adalah aktivitas yang mengkonsumsi waktu dan sumber daya untuk
menjamin produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi mutu yang telah
ditetapkan.
5.
Penyimpanan.
Penyimpanan adalah aktivitas yang menggunakan waktu dan sumber daya selama
produk dan bahan baku disimpan sebagai persediaan.
Kelima golongan aktivitas tersebut merupakan aktivitas
yang sebenarnya tidak menambah nilai bagi customer,
sehingga dalam jangka panjang harus dihilangkan dari proses pembuatan produk.
Cara yang ditempuh untuk meningkatkan efisiensi
pelaksanaan aktivitas penambah nilai dan mengurangi serta akhirnya
menghilangkan aktivitas bukan penambah nilai dalam pengelolaan aktivitas adalah
:
1. Activity
Reduction
Berusaha menurunkan waktu dan sumber daya dengan
meningkatkan efisiensi aktivitas yang perlu dan menyusun strategi untuk
memperbaiki aktivitas yang tidak menambah nilai sampai dapat di eliminasi.
2. Activity
Elimination
Pendekatan ini menganggap bahwa ada beberapa aktivitas
yang tidak diperlukan. Jika aktivitas ini dapat diidentifikasikan maka badan
usaha berusaha melepaskan diri dari aktivitas tidak menambah nilai tersebut.
2. Activity
Selection
Melakukan pemilihan untuk aktivitas yang paling efisien
dari sekumpulan aktivitas yang berbeda yang di sebabkan oleh strategi
persaingan, misalnya memilih strategi perancangan produk dengan biaya yang
paling murah jika faktor yang lain sama.
4. Activity
Sharing
Meningkatkan efisiensi dari aktivitas yang perlu dengan
menggunakan skala ekonomi. Dengan demikian kuantitas pemicu biaya (cost driver) meningkat tanpa peningkatan
biaya dari pemicu biaya perunit dan jumlah biaya yang dibebankan ke produk yang
mengkonsumsi aktivitas menjadi lebih rendah.
Jadi perusahaan yang melakukan analisis aktivitas mengarah
pada penghematan biaya dengan perbaikan yang berkelanjutan, ini dipertegas oleh
Hansen dan Mowen (1997) “Activity
analysis is the key to achieving cost reduction objective continuos improvement
carries with it the objective of cost reduction. Competitive condition dictate
that companies must deliver product the customer want, ontime, and at the
lowest possible cost.”
II.3
Pembangunan Berkelanjutan
II.3.1
Pengertian Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan, menurut
Sumarwoto (dalam Sugandhy dan Hakim, 2007: 21), pembangunan berkelanjutan
didefinisikan sebagai:
“Perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial di mana masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan, dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya”.
“Perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial di mana masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan, dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya”.
Secara implisit, definisi tersebut
menurut Hegley, Jr. 1992 mengandung pengertian strategi imperatif bagi
pembangunan berkelanjutan sebagai berikut.
a. Berorientasi
untuk pertumbuhan yang mendukung secara nyata tujuan
ekologi, sosial, dan ekonomi.
b. Memperhatikan
batas-batas ekologis dalam konsumsi materi dan memperkuat pembangunan
kualitatif pada tingkat masyarakat dan individu
dengan distribusi yang adil.
c. Perlunya campur tangan pemerintah, dukungan, dan kerja sama dunia usaha dalam upaya konservasi dan pemanfaatan yang berbasis sumber
daya.
d. Perlunya
keterpaduan kebijakan dan koordinasi pada semua tingkat dan antara yurisdiksi
politik terkait dalam pengembangan energi bagi pertumbuhan kebutuhan hidup.
e. Bergantung pada
pendidikan, perencanaan, dan proses politik yang terinformasikan, terbuka, dan adil dalam pengembangan teknologi dan
manajemen.
f. Mengintegrasikan
biaya sosial dan biaya lingkungan dari dampak pembangunan ke dalam perhitungan
ekonomi.
Hampir senada dengan definisi di
atas, Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyatakan bahwa “pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar, dan
terencana dalam proses pembangunan, berbasis lingkungan hidup untuk menjamin
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan”.
Pembangunan berkelanjutan, menurut
Komisi dunia untuk Pembanguynan dan Lingkungan, PBB (dalam Soeriaatmadja 2000:
53), “pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang tanpa kompromi akan tetapi memelihara Sumber Daya Alam/
Lingkungan Hidup untuk kepentingan generasi yang akan datang”.
Budimanta (2005) dalam buletin tata ruang edisi Januari-Februari 2009
menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara pandang mengenai
kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka
peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa
mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan dating untuk
menikmati dan memanfaatkannya. Dalam proses pembangunan berkelanjutan terdapat
proses perubahan yang terencana, yang didalamnya terdapat eksploitasi
sumberdaya, arah investasi orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan
kelembagaan yang kesemuanya ini dalam keadaan yang selaras, serta meningkatkan
potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi
masyarakat.
II.3.2
Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Pembangunan berkelanjutan tidak hanya berkonsentrasi pada isu-isu
lingkungan. Tetapi mencakup tiga lingkup kebijakan yaitu: pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan (3 Pilar Pembangunan
berkelanjutan). Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005
menyebut ketiga pilar tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong
bagi pembangunan berkelanjutan. Idealnya, ketiga hal tersebut dapat berjalan
bersama-sama dan menjadi focus pendorong dalam pembangunan berkelanjutan.
Dalam buku “Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21” (Buku 1)
Sarosa menyampaikan bahwa pada era sebelum pembangunan berkelanjutan
digaungkan, pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya tujuan bagi
dilaksanakannya suatu pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek lainnya.
Selanjutnya pada era pembangunan berkelanjutan saat ini ada 3 tahapan yang
dilalui oleh setiap Negara. Pada setiap tahap, tujuan pembangunan adalah
pertumbuhan ekonomi namun dengan dasar pertimbangan aspek-aspek yang semakin
komprehensif dalam tiap tahapannya. Tahap pertama dasar pertimbangannya hanya
pada keseimbangan ekologi. Tahap kedua dasar pertimbangannya harus telah
memasukkan pula aspek keadilan sosial. Tahap ketiga, semestinya dasar
pertimbangan dalam pembangunan mencakup pula aspek aspirasi politis dan sosial
budaya dari masyarakat setempat. Tahapan-tahapan ini digambarkan sebagai
evolusi konsep pembangunan berkelanjutan, seperti dalam Gambar berikut ini.
Sejalan dengan pemikiran
tersebut, Djajadiningrat (2005) dalam buku Suistanable Future dalam
http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=123: Menggagas Warisan
Peradaban bagi Anak Cucu, Seputar Pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat, menyatakan
bahwa dalam pembangunan yang berkelanjutan terdapat aspek keberlanjutan yang
perlu diperhatikan, yaitu:
1. Keberlanjutan
Ekologis
2. Keberlanjutan di
Bidang Ekonomi
3. Keberlanjutan Sosial
dan Budaya
4. Keberlanjutan Politik
5. Keberlanjutan Pertahanan
Keamanan
Sedangkan Otto
Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan enam tolok ukur pembangunan
berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk pemerintah pusat
maupun di daerah untuk menilai keberhasilan seorang Kepala Pemerintahan dalam
pelaksanaan proses pembangunan berkelanjutan. Keenam tolok ukur itu meliputi:
a) pro lingkungan hidup; b) pro rakyat miskin; c) pro kesetaraan gender; d)
propenciptaan lapangan kerja; e) pro dengan bentuk negara kesatuan RI; dan f)
harus anti korupsi, kolusi serta nepotisme.
Tolok ukur pro lingkungan hidup (pro-environment)
dapat diukur dengan berbagai indikator. Salah satunya adalah indeks
kesesuaian,seperti misalnya nisbah luas hutan terhadap luas wilayah (semakin
berkurang atau tidak), nisbah debit air sungai dalam musim hujan terhadap musim
kemarau, kualitas udara, dan sebagainya. Berbagai bentuk pencemaran lingkungan
dapat menjadi indikator yang mengukur keberpihakan pemerintah terhadap
lingkungan. Terkait dengan tolok ukur pro lingkungan ini, Syahputra (2007)
mengajukan beberapa hal yang dapat menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan
lingkungan yang dapat dijadikan indikator, yaitu:
·
Menempatkan suatu kegiatan dan proyek
pembangunan pada lokasi secara benar menurut kaidah ekologi.
·
Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable
resources) tidak boleh melebihi potensi lestarinyaserta upaya mencari
pengganti bagi sumberdaya takterbarukan(non-renewable resources).
·
Pembuangan limbah industri maupun rumah
tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran.
·
Perubahan fungsi ekologis tidak boleh
melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity).
Tolok ukur pro rakyat miskin (pro-poor) bukan
berarti anti orang kaya. Yang dimaksud pro rakyat miskin dalam hal ini
memberikan perhatian pada rakyat miskin yang memerlukan perhatian khusus karena
tak terurus pendidikannya, berpenghasilan rendah, tingkat kesehatannya juga
rendah serta tidak memiliki modal usaha sehingga daya saingnya juga rendah. Pro
rakyat miskin dapat diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
atau HumanDevelopment Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
atau Human Poverty Index (HPI) yang dikembangkan PBB. Kedua indikator
ini harus dilakukan bersamaan sehingga dapat dijadikan tolok ukur pembangunan
yang menentukan. Nilai HDI dan HPI yang meningkat akan dapat menunjukkan
pembangunan yang pro pada rakyat miskin.
Tolok ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women), dimaksudkan untuk lebih banyak membukakesempatan pada
kaum perempuan untuk terlibat dalamarus utama pembangunan. Kesetaraan jender
ini dapatdiukur dengan menggunakan Gender-related.Develotmenta.Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM) untuk suatu daerah.Jika
nilai GDI mendekati HDI, artinyadi daerah tersebut hanya sedikitterjadi
disparitas jender dan kaumperempuan telah semakin terlibat dalam proses
pembangunan.
Tolok ukur pro pada kesempatan hidup atau kesempatan kerja
(pro-livelihood opportunities) dapat diukur dengan menggunakan
berbagai indikator seperti misalnya indikator demografi (angkatan kerja, jumlah
penduduk yang bekerja, dan sebagainya), index gini, pendapatan perkapita, dan
lain-lain. Indikator Kesejahteraan Masyarakat juga dapat menjadi salah satu hal
dalam melihat dan menilai tolok ukur ini
|
Tolok ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI merupakan suatu keharusan, karena pembangunanberkelanjutan yang dimaksud
adalah untuk bangsaIndonesia yang berada dalam kesatuan NKRI.
Tolok ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilihat dari berbagai kasus yang dapat diselesaikanserta berbagai hal
lain yang terkait dengan gerakan anti KKN yang digaungkan di daerah
bersangkutan.Buah pemikiran pakar lingkungan ini sejalan denganbuah pemikiran
beberapa konseptor pembangunan berkelanjutan yang dirangkum oleh Gondokusumo
(2005),dimana disebutkan syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuktercapainya
proses pembangunan berkelanjutan (Tabel1). Syarat-syarat tersebut secara umum
terbagi dalam 3 indikator utama, yaitu:
1.
Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya
adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota
masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi inovatif yang berdampak minimum
terhadap lingkungan.
2.
Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya
etika lingkungan non antroposentris yang menjadi pedoman hidup masyarakat,
sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan,
konservasi sumberdaya alam vital, dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup
non material.
3.
Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah
keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumberdaya alam dan pelayanan publik,
menghargai diversitas budaya dan untuk suatu proses pembangunan berkelanjutan,
maka perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:
1)
Cara berpikir yang integratif.
Dalam konteks ini, pembangunan haruslah melihat keterkaitan fungsional dari
kompleksitas antara sistem alam, sistem sosial dan manusia di dalam
merencanakan, mengorganisasikan maupun melaksanakan pembangunan tersebut.
2)
Pembangunan berkelanjutan harus dilihat
dalam perspektif jangka panjang.
Hingga saat ini yang banyak mendominasi pemikiran para pengambilkeputusan
dalam pembangunan adalah kerangkapikir jangka pendek, yang ingin cepat
mendapatkanhasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan.Kondisi ini sering
kali membuat keputusan yangtidak memperhitungkan akibat dan implikasi
padajangka panjang, seperti misalnya potensi kerusakanhutan yang telah mencapai
3,5 juta Ha/tahun, banjiryang semakin sering melanda dan dampaknya yang semakin
luas, krisis energi (karena saat ini kita telahmenjadi nett importir
minyak tanpa pernah melakukanlangkah diversifi kasi yang maksimal ketika masih
dalamkondisi surplus energi), moda transportasi yang tidakberkembang,
kemiskinan yang sulit untuk diturunkan,dan seterusnya.
3)
Mempertimbangkan keanekaragaman hayati,
untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan
untuk masa kini dan masa mendatang.
Yang tak kalah pentingnya adalah juga pengakuan dan perawatan
keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakukan yang merata terhadap
berbagai tradisi masyarakat sehingga dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
4)
Distribusi keadilan sosial ekonomi. Dalam
konteks ini dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan menjamin adanya
pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan meratanya sumber daya lahan
dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan kesempatan
kepada setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan
melalui pemerataan ekonomi
Ada dua makna
gagasan yang terkandung didalam cara pandang pembangunan berkelanjutan yaitu:
gagasan kebutuhan, yaitu kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan kehidupan
manusia dan gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan
organiasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini
dan hari depan. (http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2007/06/bagaimana-konsep-pembangunan-kota-.)
Pembangunan
berkelanjutan juga mensyaratkan adanya pemeliharaan keanekaragaman.
Pemeliharaan keanekaragaman hayati untuk memastikan bahwa sumber daya alam
selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Yang tak
kalah pentingnya adalah pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan
mendorong perlakuan yang merata terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat
lebih dimengerti oleh masyarakat.
II.3.3 Pihak-pihak yang
berperan dalam pembangunan berkelanjutan
1.
Pemerintah
Peran
pemerintah adalah sebagai regulator yang memampukan para pelaku, menjamin
terjadinya tata kelola yang adil dan proporsional, serta penyedia layanan dasar
perkotaan, kawasan-kawasan penyangga perkotaan (ruang terbuka hijau: taman,
hutan kota, dan badan-badan air: sungai, danau/situ/bendung dll). Dalam
menjalankan fungsi pemerintah sebagai dan , kepala daerah dapat memainkan peran
yang sangat penting dalam mendorong daya kreatif dalam pengelolaan kawasan
perkotaan, baik di jajaran pemerintah maupun masyarakat dan dunia usaha.
2. Dunia Usaha
Peran
dunia usaha adalah sebagai motor pengembangan nilai tambah, peningkatan
produksi dan distribusi, menyediakan layanan penyediaan barang dan jasa yang
berkualitas dan efisien, serta pembangun perkotaan yang nyaman, produktif, dan
menarik untuk dikunjungi. Pengalaman selama ini menunjukkan pelaku dunia usaha
memiliki potensi besar untuk mewujudkan perkotaan yang berkelanjutan, antara
lain, melalui penyediaan perumahan yang layak huni dan ruang terbuka hijau
sebagai bagian dari (CSR).
3.
Masyarakat
Peran
masyarakat adalah sebagai pengguna sekaligus pembangun perkotaan melalui
pengembangan permukiman yang sehat dan teratur, memelihara kebersihan dan
penghijauan kawasan pemukiman, menjaga keseimbangan penggunaan air tanah dengan
membangun sumur resapan dll. Masyarakat sipil yang terorganisasi juga berperan sebagai sistem
kontrol publik yang efektif melalui organisasi pemantauan kinerja pemerintah,
kegiatan perencanaan dan penganggaran pembangunan partisipatif, dan berbagai
pemikiran atau masukan kebijakan untuk mengembangkan tata kelola publik yang
lebih baik.
Upaya untuk
mewujudkan tata pemerintahan yang baik hanya dapat dilakukan apabila terjadi
keseimbangan peran ketiga pilar yaitu pemerintah, dunia usaha swasta, dan
masyarakat. Memang pada dasarnya bidang jalan adalah sektor yang tidak layak
secara finansial, karena sifat infrastruktur itu sendiri, sehingga hanya
sebagian kecil dari total panjang jaringan jalan yang dapat dikomersialkan.
Pengalaman negara-negara seperti Malaysia (north and south) dan Korea
Selatan menunjukkan bahwa pada awalnya untuk mendongkrak keterlibatan swasta
diperlukan seperti kontribusi pemerintah untuk membangun Jalan Tol, setelah itu
baru diserahkan kepada swasta. Tidak hanya swasta saja, kerjasama antara
pemerintah, swasta dan masyarakat merupakan hal yang harus terus dikembangkan.
Ketiganya mempunyai peran masing-masing. Pemerintahan (legislatif, eksekutif,
dan yudikatif) memainkan peran menjalankan dan menciptakan lingkungan politik
dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain dalam pemerintahan. Dunia usaha
swasta berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan pendapatan. Peran swasta
dapat terkait dalam mitra kerja dimana pemerintah memerlukan bantuan dalam hal
peningkatan dan penyelesaian kegiatan pembangunan. Peran lain dari swasta
adalah sebagai salah satu sumber pendanaan bagi pemerintah (investor). Dengan
adanya pendanaan yang cukup, maka pembangunan oleh pemerintah akan lebih baik
pelaksanaannya. Masyarakat berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi,
dan politik. Masyarakat juga dapat berperan sebagai pengawas pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah. Pada Undnag-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menjelaskan
bahwa masyarakat juga memiliki andil dalam preservasi jalan. Ketiga unsur
tersebut dalam memainkan perannya masing-masing harus sesuai dengan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tata kepemerintahan yang baik
(Bappenas, 2007) dalam Rencana Strategis 2010-2014 Direktorat Jenderal Bina
Marga hal 37-38.
Untuk
mewujudkan kemitraan yang saling menguntungkan, diperlukan saling percaya antar
pihak yang bermitra, dan untuk membentuk saling percaya diperlukan pembentukan
pemahaman bersama dan nilai bersama. Dengan adanya pemahaman dan nilai-nilai
bersama, pihak-pihak yang terlibat akan terdorong untuk menyelenggarakan
kegiatan bersama (“Renewing Governance: Governing by Learning in the
Information Age”, StevenA.Rosell, 1999) dalam sudforum.penataanruang.net/download/Soundinkit.pdf
III.
KESIMPULAN
Dengan
menerapakan strategic cost reduction dan
kerjasama yang baik antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat maka dapat
terwujud pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan dengan efisiensi dan biaya
seminimum mungkin dengan tetap mempertahankan kualitas dari pembangunan
tersebut.
Beberapa
metode yang termasuk pada strategic cost
reduction yaitu:
1.
Kaizen
costing;
2. Activity Based Costing
(ABC);
3. Depresiasi
(Penyusutan); dan
4. Analisis
aktivitas.
DAFTAR
PUSTAKA
Abduh,
Muhamad. 2007. “Sustainability dalam bidang Material, Rekayasa, dan Konstruksi”
Prosiding Konstruksi Ramping untuk
Mencapai Konstruksi yang Berkelanjutan hal 213 - 225, Indonesia.
Blocher,
Edward, Kung H. Chen, and Thomas W. Lin. 2002. Cost Management: A Strategic Emphasis. International Edition. New
York: McGraw- Hill Companies International, Inc.
Bunga,
Rampai. 2005. Pembangunan Kota Indonesia
Dalam Abad 21, Konsep dan Pedekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia.
Jakarta: Fakultas Ekonomi UI
Cooper, Robin. 1995. When
Lean Enterprises Collide: Competing Through Confrontation. Boston: Harvard
Business School Press.
Dipohusodo, Istimawan
1996. Manajemen Proyek dan Konstruksi Jilid 2. Yogyakarta : Kanisius.
Direktorat
Jenderal Bina Marga. 2010. Rencana
Strategis 2010-2014 Direktorat Jenderal Bina Marga. Jakarta: Kementerian
Pekerjaan Umum.
Garrison, Ray. H. and Eric W.
Noreen. 2003. Concept for Planning,
Controling, Decision Making. Managerial
Accounting. Tenth Edition.
Richard D. Irwin Inc.
Hansen Don R., and Maryanne M.
Mowen. 2003. Management Accounting. Sixth
Edition. Ohio : South Western Publishing Co.
Hilton, Ronald W. 1999. Managerial Accounting. Fourth Edition.
New York. McGraw-Hill Companies International, Inc.
Kaplan,
Robert. S dan Cooper, Robin. 1998. Cost
and effect: using integrated cost systems to drive profitabiliti and performance.
Harvard Business School Press, Unitrd States of America
Mulyadi. 2005. Akuntansi
Biaya. Edisi Kelima. Yogyakarta : UPP AMP YKPN
Soeriaatmadja,
R. E. 2000. Pembangunan Berkelanjutan
Yang Berwawasan Lingkungan.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Sugandhy, Aca dan Rustam Hakim. 2007.
Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan
Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan, Cet. I, Bumi Aksara, Jakarta.
Undang-undang No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang.
Tim, McCormmick. 2010. Accountancy Ireland Volume 42: Strategic
Cost Reduction Steps to Success Pages: 56-58. Ireland: Institute of
Chartered Accountants In Ireland
Weygandt, Jerry J,
Kieso, Donald E dan Kimmel, Paul D. 2007. Accounting
Princiles. Edisi ke-7. Salemba Empat, Jakarta.
sudforum.penataanruang.net/download/Soundinkit.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar