PENGENDALIAN
INTERNAL SEBAGAI VARIABEL MODERATING HUBUNGAN KEADILAN ORGANISASI DENGAN FRAUD
(Studi
Kasus tender ulang pembangunan jalan Sosok - Tayan dan jalur
Simpang Tanjung - Sanggau)
DOSEN
Dr. Tettet Fitrijanti, SE.,
M.Si., Ak
Oleh :
Anjelita (120620120505)
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
2014
PENGENDALIAN
INTERNAL SEBAGAI VARIABEL MODERATING HUBUNGAN KEADILAN ORGANISASI DENGAN FRAUD
Jenis
fraud (kecurangan) yang terjadi di setiap negara berbeda - berbeda, hal ini
karena praktek fraud sangat dipengaruhi oleh kondisi hukum di negara yang
bersangkutan. Di negara maju dimana penegakan hukum sudah berjalan dengan baik
dan kondisi ekonomi masyarakat secara umum sudah cukup baik maka praktek fraud
lebih sedikit bentuknya.
Di
Indonesia sejak masa reformasi, tuntutan akan trasparansi dan akuntabilitas
terhadap pengelolaan keuangan publik semakin kuat. Hal ini disebabkan karena
sebelum adanya reformasi pemerintahan Indonesia cenderung bersifat sentralisasi.
Untuk itu pemerintah pusat menyiapkan berbagai macam perangkat aturan
(regulasi), memperkuat struktur kelembagaan dibidang pengawasan keuangan,
penanganan korupsi dan langkah-langkah lainnya.
Ada
berbagai macam bentuk fraud yang terjadi pada organisasi sektor publik di
Indonesia. Salah satunya adalah korupsi. Kasus korupsi di Indonesia seakan
tidak ada habisnya. Begitu juga dalam upaya pemberantasannya yang belum optimal
serta pemberian efek jera. Seperti yang kita ketahui bersama penegakan hukum di
Indonesia selalu saja melibatkan permainan uang dan pengaruh kekuasaan.
Perilaku korupsi menjalar ke berbagai sendi dalam pemerintahan dan menjadi
berbagai konspirasi dari berbagai instansi.
Seperti halnya menangani penyakit, lebih baik
mencegah daripada mengobatinya. Para ahli memperkirakan bahwa fraud yang terungkap merupakan bagian kecil
dari seluruh fraud yang sebenarnya
terjadi. Karena itu, upaya utama seharusnya adalah pada pencegahannya.
Karena itu untuk upaya pencegahan fraud perlu dimulai dari pengendalian
internal.
Disamping pengendalian internal, dua konsep
penting lainnya dalam pencegahan fraud, yakni menanamkan kesadaran tentang
adanya fraud (fraud awareness)dan upaya menilai risiko terjadinya fraud (fraud risk assessment)(Tuanakotta,2007).
Sistem pengendalian manajemen lebih mengutamakan
pengendalian internal yang biasanya lebih dipandang sebagai kunci dalam
mencegah kecurangan. Sesuai dengan Committee of sponsoring
Organizations(COSO,2004) pengendalian internal adalah :
“... a process, effected by an entity’s board of
directors, management and other personnel,designed to provide reasonable
assurance regarding the achievement of objectives in (1) the effectiveness and efficiency of operations, (2) the
reliability of financial reporting, and (3) the compliance of applicable laws
and regulations.”
Jadi, sistem pengendalian internal secara
potensial akan mencegah kesalahan-kesalahan dan kecurangan melalui pengawasan
dan meningkatkan proses pelaporan keuangan dan organisational akan sama baiknya
menjamin pemenuhan yang bersangkutan dengan hukum dan regulasi.
BAB I
STUDI LITERATURE
FRAUD (KECURANGAN)
Definisi Fraud menurut Black Law Dictionary dalam
Prasetyo et al. (Peak Indonesia, 2003), fraud didefinisikan sebagai: adalah:
1. A knowing misrepresentation of the truth or
concealment of a material fact to induce another to act to his or her
detriment; is usual a tort, but in some
cases (esp. when the conduct is willful) it may be a crime, 2. A misrepresentation made recklessly without
belief inits truth to induce another person to act, 3. A tort arising from knowing
misrepresentation, concealment of material fact, or reckless misrepresentation
made to induce another to act to his or her detriment.
Yang diterjemahkan (tidak resmi), kecurangan
adalah:
1. Kesengajaan atas salah pernyataan terhadap
suatu kebenaran atau keadaan yang disembunyikan dari sebuah fakta material yang
dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan atau tindakan yang
merugikannya, biasanya merupakan kesalahan namun dalam beberapa kasus
(khususnya dilakukan secara disengaja) memungkinkan merupakan suatu kejahatan;
2. penyajian yang salah/keliru (salah
pernyataan) yang secara ceroboh/tanpa perhitungan dan tanpa dapat dipercaya kebenarannya
berakibat dapat mempengaruhi atau menyebabkan orang lain bertindak atau
berbuat; 3. Suatu kerugian yang timbul sebagai akibat diketahui keterangan atau
penyajian yang salah (salah pernyataan), penyembunyian fakta material, atau
penyajian yang ceroboh/tanpa perhitungan yang mempengaruhi orang lain untuk
berbuat atau bertindak yang merugikannya.
Ada pula yang mendefinisikan fraud
sebagai suatu tindak kesengajaan untuk menggunakan sumber daya
perusahaan secara tidak wajar dan salah menyajikan fakta untuk memperoleh
keuntungan pribadi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, fraud
adalah penipuan yang disengaja. Hal ini termasuk berbohong, menipu,
menggelapkan dan mencuri. Yang dimaksud dengan penggelapan disini adalah
merubah aset/kekayaan perusahaan yang dipercayakan kepadanya secara tidak wajar
untuk kepentingan dirinya. Dengan demikian, perbuatan yang dilakukannya adalah
untuk menyembunyikan, menutupi atau dengan cara tidak jujur lainnya melibatkan
atau meniadakan suatu perbuatan atau membuat pernyataan yang salah dengan
tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dibidang keuangan atau keuntungan
lainnya atau meniadakan suatu kewajiban bagi dirinya dan mengabaikan hak orang
lain.
Klasifikasi
Fraud (Kecurangan)
The Association of Certified Fraud Examiners
(ACFE) atau Asosiasi Pemeriksa
Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi profesional bergerak di bidang
pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan mempunyai
tujuan untuk memberantas kecurangan, mengklasifikasikan fraud (kecurangan)
dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “Fraud Tree” yaitu
Sistem Klasifikasi Mengenai Hal-hal yang Ditimbulkan Sama Oleh Kecurangan (Uniform Occupational Fraud Classification
System). The ACFE membagi Fraud
(Kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi berdasarkan perbuatan
yaitu:
1.
Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation);
Asset misappropriation meliputi
penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini
merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya
yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).
2.
Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement);
Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat
atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi
keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan
(financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk
memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window
dressing.
3.
Korupsi (Corruption).
Jenis
fraud ini yang paling sulit
dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan
korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di
negara-negara berkembang yang penegakan
hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga
faktor integritasnya masih dipertanyakan.
Fraud jenis ini sering kali tidak
dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan
(simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan
wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery),
penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara
ekonomi (economic extortion).
Faktor
Pemicu Fraud (Kecurangan)
Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk
melakukan kecurangan, yang disebut juga dengan teori GONE, yaitu
(Simanjuntak,2008):
1. Greed
(keserakahan)
2.
Opportunity (kesempatan)
3. Need
(kebutuhan)
4.
Exposure (pengungkapan)
Faktor
Greed dan Need
merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku kecurangan
(disebut juga faktor individual). Sedangkan faktor Opportunity dan Exposure
merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan
kecurangan (disebut juga faktor generik/umum).
Dennis Greer menyebut tiga elemen kunci yang
disebut sebagai segitiga fraud (fraud
triangle) yang mendorong seseorang atau sekelompok orang melakukan fraud.
Ketiga elemen tersebut adalah (STAN,2007):
1. Adanya tekanan.
2. Adanya kesempatan.
3. Adanya alasan pembenaran.
Elemen pertama dan ketiga lebih melekat pada
kondisi kehidupan dan sikap mental/moral pribadi seseorang, sedangkan elemen
kedua terkait dengan sistem pengendalian internal dalam suatu organisasiatau
perusahaan.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan tekanan
(pressure) antara lain:
1
Masalah keuangan, seperti tamak/rakus, hidup
melebihi kemampuan, banyak hutang, biaya kesehatan yang besar, kebutuhan tak
terduga.
2
Sifat buruk, seperti penjudi, peminum, pecandu
narkoba.
3
Lingkungan pekerjaannya, misalnya sudah bekerja
dengan baik tetapi kurang mendapat perhatian, kondisi kerja yang buruk.
4
Lain-lain seperti tekanan dari lingkungan
keluarga.
Adapun faktor-faktor yang dapat meningkatkan
adanya peluang atau kesempatan (opportunity) seseorang berbuat fraud antara
lain:
1.
Sistem pengendalian internal yang sering juga
disebut pengendalian internal, yang lemah.
2.
Tidak mampu menilai kualitas kerja karena tidak
punya alat atau kriteria pengukurannya.
3.
Kurang atau tidak adanya akses terhadap informasi
sehingga tidak memahami keadaan yang sebenarnya.
4.
Gagal mendisiplinkan atau memberikan sanksi pada
pelaku fraud.
5.
Lalai, apatis, acuh tak acuh.
6.
Kurang atau tidak adanya audit trail
(jejak audit), sehingga tidak dapat dilakukan penelusuran data.
Faktor-faktor yang mendorong seseorang mencari
pembenaran (rationalization) atas tindakannya melakukan fraud, antara lain :
1.
Mencontoh atasan atau teman sekerja.
2.
Merasa sudah berbuat banyak kepada
organisasi/perusahaan.
3.
Menganggap bahwa yang diambil tidak seberapa.
4.
Dianggap hanya sekadar meminjam, pada waktunya
akan dikembalikan.
Pelaku
dari Fraud
Menurut Sie Infokum – Ditama Binbangkum tahun
2008 bahwa pelaku kecurangan di atas
dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kelompok, yaitu manajemen dan karyawan/pegawai. Pihak manajemen melakukan
kecurangan biasanya untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan
keuangan (misstatements arising from
fraudulent financial reporting). Sedangkan karyawan/pegawai melakukan kecurangan bertujuan untuk keuntungan individu, misalnya
salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva (misstatements arising from misappropriation of assets).
Kecurangan pelaporan keuangan biasanya dilakukan
karena dorongan dan ekspektasi terhadap prestasi kerja manajemen. Salah saji
yang timbul karena kecurangan terhadap pelaporan keuangan lebih dikenal dengan
istilah irregularities (ketidakberesan). Bentuk kecurangan seperti
ini seringkali dinamakan kecurangan manajemen (management fraud), misalnya berupa : Manipulasi, pemalsuan, atau
pengubahan terhadap catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang merupakan
sumber penyajian laporan keuangan.
Kesengajaan dalam salah menyajikan atau sengaja
menghilangkan (intentional omissions) suatu transaksi, kejadian, atau informasi
pentingdari laporan keuangan.
Kecurangan penyalahgunaan aktiva biasanya
disebut kecurangan karyawan (employee
fraud). Salah saji yang berasal dari penyalahgunaan aktiva meliputi
penggelapan aktiva perusahaan yang mengakibatkan laporan keuangan tidak
disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Penggelapan aktiva umumnya dilakukan oleh
karyawan yang menghadapi masalah
keuangan dan dilakukan karena melihat adanya peluang kelemahan pada
pengendalian internal perusahaan serta pembenaran terhadap tindakan tersebut.
Contoh salah saji jenis ini adalah :
- Penggelapan terhadap penerimaan kas;
- Pencurian aktiva perusahaan;
- Mark-upharga;
- Transaksi “tidak resmi”.
Pencegahan
Kecurangan
Peran utama dari internal auditor sesuai dengan
fungsinya dalam pencegahan kecurangan adalah berupaya untuk menghilangkan atau
mengeleminir sebab-sebab timbulnya kecurangan tersebut. Karena pencegahan
terhadap akan terjadinya suatu perbuatan curang akan lebih mudah daripada
mengatasi bila telah terjadi kecurangan tersebut. Pada dasarnya kecurangan
sering terjadi pada suatu suatu entitas apabila :
1
Pengendalian internal tidak ada atau lemah atau
dilakukan dengan longgar dan tidak efektif.
2
Pegawai dipekerjakan tanpa memikirkan kejujuran
dan integritas mereka.
3
Pegawai diatur, dieksploitasi dengan tidak baik,
disalah gunakan atau ditempatkan dengan tekanan yang besar untuk mencapai
sasaran dan tujuan keuangan yang mengarah tindakan kecurangan.
4
Model manajemen sendiri melakukan kecurangan,
tidak efsien dan atau tidak efektif serta tidak taat terhadap hukum dan
peraturan yang berlaku.
5
Pegawai yang dipercaya memiliki masalah pribadi
yang tidak dapat dipecahkan, biasanya masalah keuangan, kebutuhan kesehatan
keluarga, gaya hidup yang berlebihan.
6
Industri dimana perusahaan menjadi bagiannya,
memiliki sejarah atau tradisi kecurangan.
Pencegahan kecurangan pada umumnya adalah
aktivitas yang dilaksanakan manajemen dalam hal penetapan kebijakan, sistem dan
prosedur yang membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan sudah
dilakukan dewan komisaris, manajemen, dan personil lain perusahaan untuk dapat memberikan
keyakinan memadai dalam mencapai 3 ( tiga ) tujuan pokok yaitu; keandalan
pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi serta kepatuhan terhadap
hukum & peraturan yang berlaku ( COSO: 1992).
PENGENDALIAN INTERNAL
Definisi Pengawasan Intern yang terkandung dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu,
evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan
tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai
bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan
secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan
kepemerintahan yang baik. Pada PP Pasal 2 ayat 1 tercantum bahwa pengendalian
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dilakukan untuk mencapai pengelolaan
keuangan negara yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel.
Tindakan/aktivitas pengendalian yang ada dalam
organisasi dikelompokkan dalam (BPK,2009) :
1
Pengendalian Pencegahan (preventive controls)
bertujuan untuk mencegah galat (errors) atau peristiwa yang tidak diinginkan
terjadi.
2
Pengendalian Pendeteksian (detective controls)
bertujuan untuk menginformasikan kepada manajemen galat atau masalah yang
sedang terjadi atau beberapa saat setelah terjadi.
3
Pengendalian Pemulihan (corrective controls)
biasanya digunakan bersama dengan pendeteksian, bertujuan untuk memperbaiki
kembali dari akibat terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan.
Menurut
COSO, pengendalian internal merupakan suatu proses yang dipengaruhi oleh
direksi organisasi, manajemen, dan personel lainnya, yang didesain untuk
memberikan keyakinan memadai akan tercapainya tujuan dalam kategori berikut
(BPK,2009) :
a.
Efektivitas dan efisiensi operasi
b.
Keandalan pelaporan keuangan
c.
Ketaatan pada hukum dan peraturan yang berlaku
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sistem
pengendalian internal pemerintah memiliki tujuan untuk mencapai pengelolaan
keuangan baik di pemerintahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat.
Pengendalian merupakan suatu tindakan atau
aktivitas yang dilakukan manajemen untuk memastikan (secara memadai, bukan
mutlak) tercapainya tujuan dan sasaran organisasi.
Tujuan pengendalian internal adalah menjamin
manajemen perusahaan agar:
1. Tujuan
perusahaan yang ditetapkan akan dapat dicapai.
2.
Laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan dapat dipercaya.
3.
Kegiatan perusahaan sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Pengendalian internal dapat mencegah kerugian
atau pemborosan pengolahan sumber daya
perusahaan. Pengendalian internal dapat menyediakan informasi tentang bagaimana
menilai kinerja perusahaan dan manajemen perusahaan serta menyediakan informasi
yang akan digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan.
Sasaran Pengendalian Internal adalah :
1.
Mendukung operasi perusahaan yang efektif dan efisien.
2.
Laporan Keuangan yang handal/akuntabel
3.
Perlindungan aset
4.
Mengecek keakuratan dan kehandalan data akuntansi
5.
kesesuaian dengan hukum dan peraturan–peraturan yang berlaku
6.
membantu menentukan kebijakan manajerial
Komponen Pengendalian Internal
Pengendalian internal sebagaimana didefinisikan
oleh COSO, terdiri atas lima komponen yang saling terkait (Mustafa,2004),
yaitu:
1
Lingkungan pengendalian (control environment)
2
Penaksiran risiko (risk assessment)
3
Aktivitas pengendalian (control activities)
4
Informasi dan komunikasi (information and
communication)
5
Pemantauan (monitoring).
Komponen pertama, lingkungan pengendalian adalah
tindakan, kebijakan, dan prosedur yang merefleksikan seluruh sikap top
manajemen, dewan komisaris, dan pemilik entitas tentang pentingnya
pengendaliandalam suatu entitas, yang mencakup
a.
Integritas dan nilai etika (integrity and
ethical values);
b.
Komitmen terhadap kompetensi (commitment to
competence);
c.
Partisipasi dewan komisaris atau komite
audit (Board of Directors or Audit
Committee participation);
d.
Filosofi dan gaya operasi manajemen (management’s philosophy and operating
style);
e.
Struktur organisasi (organizational structure);
f.
Pemberian otoritas dan tanggung jawab (assigment of authority and responsibility);
g.
Kebijakan dan praktik sumber daya manusia (human resource policies and practices).
Komponen kedua penaksiran risiko dalam sistem
pengendalian internal adalah usaha manajemen untuk mengidentifikasi dan
menganalisis risiko yang relevan dalam menyiapkan laporan keuangan sesuai
dengan standar akuntansi keuangan.
Komponen ketiga, aktivitas pengendalian adalah
kebijakan dan prosedur yang dibangun oleh manajemen untuk mencapai tujuan laporan keuangan yang obyektif. Aktivitas
pengendalian dapat digolongkan dalam
pemisahan tugas yang memadai, otorisasi yang tepat atas transaksi dan
aktivitas, pendokumentasian dan pencatatan yang cukup, pengawasan aset antara
catatan dan fisik, serta pemeriksaan independen atas kinerja.
Komponen keempat informasi dan komunikasi dalam
pengendalian internal adalah metode yang dipergunakan untuk mengidentifikasi,
mengumpulkan, mengklasifikasi, mencatat dan melaporkan semua transaksi entitas,
serta untuk memelihara akuntabilitas yang
berhubungan dengan aset. Transaksi-transaksi harus memuaskan dalam hal
eksistensi, kelengkapan, ketepatan, klasifikasi, tepat waktu, serta dalam
posting dan mengikhtisarkan.
Komponen kelima pemantauan kegiatan pengendalian
internal secara periodik harus dipantau oleh manajemen. Pemantauan meliputi penilaian atas kualitas kinerja
pengendalian internal untuk menentukan apakah operasi pengendalian memerlukan
modifikasi atau perbaikan.
Kelemahan
Sistem Pengendalian Internal dalam Pencegahan Fraud
Dalam uraian sebelumnya dikemukakan bahwa untuk
mencegah terjadinya fraud yang efektif
adalah dengan membangun sistem pengendalian internal.
Namun bagaimanapun baiknya sistem yang kita
ciptakan akan selalu ada kekurangannya. Tidak ada sistem yang dapat sempurna untuk
mencegah terjadinya fraud. Bagaimanapun ia dirancang dan
diimplementasikan secara cermat dan hati-hati.
Kelemahan yang melekat pada sistem pengendalian
internal adalah:
1.
Sistem yang baik sekalipun tidak dapat berjalan
bilamana sekelompok pegawai berkolusi atau bekerjasama untuk melanggar sistem. Dengan kolusi, akan terlihat di
permukaan seolah-olah sistem dipatuhi tetapi pada hakekatnya dilanggar, antara
lain dengan menggunakan dokumen fiktif dan prosedur yang direkayasa. Contohnya,
prosedur dan proses tender terlihat benar, tapi sebenarnya direkayasa seperti
tender arisan, tenderyang sebenarnya hanya diikuti oleh penawar dari grup atau
tender yang diarahkan untuk dimenangkan rekanan tertentu yang mengarah pada
merek tertentu.
2.
Sistem yang dirumuskan adalah hasil kompromi
antara manfaat (benefit) dari sistem dan biaya (cost) yang disediakan untuk
menyusun dan mengoperasikannya. Pada dasarnya suatu sistem pengendalian
internal dibangun dengan tujuan agar:
a.
Informasi yang diperlukan dapat berjalan lancar,
tepat waktu, lengkap dan cermat.
b.
Organisasi/perusahaan aman dari penyalahgunaan
dan kecurangan.
c.
Biaya pengoperasian tidak mahal.
Ketiga tujuan tersebut tidak dapat dicapai
seperti yang diharapkan, bahkan bisa kontradiktif. Jika dikehendaki informasi
berjalan lancar, bisa jadi mengorbankan keamanan. Sebaliknya, jika keamanan
diperketat, kelancaran akan terganggu dan biaya penyusunan dan implementasi
sistem menjadi mahal.
Akhirnya yang diperoleh adalah hasil kompromi
dari kontradiksi ini berupa suatu bangunan sistem pengendalian yang tidak
sepenuhnya membuat informasi berjalan
lancar, tidak sepenuhnya aman dan tidak terlalu mahal. 3. Kesalahan dan kelalaian pegawai yang
menjalankan sistem. Kekurangan pemahaman atau kelalaian dalam menerapkan sistem
dapat terjadi. Kelalaian dan kesalahan (error) dapat terjadi karena kelemahan
yang melekat pada manusia. Kekurang pahaman dapat diatasi dengan pemberian
pengertian dan sosialisasi secara terus-menerus tentang sistem yang berlaku.
Meskipun tidak ada suatu sistem pengendalian internal yang sempurna,
keberadaanya sangat membantu untuk lebih cepat mendeteksi fraud
bila telah terlanjur terjadi. Adanya celah yang dapat diterobos
(Loopholes) dari suatu sistem yang bersifat teknis mekanis diharapkan dapat
ditutup oleh integritas dan kejujuran dari jajaran seluruh karyawan serta
keteladanan dan keterbukaan
pimpinan dalam kerangka bangunan nilai-nilai
budaya perusahaan.
ORGANIZATIONAL JUSTICE (KEADILAN ORGANISATIONAL)
Karyawan yang bekerja di sebuah organisasi akan
berharap bahwa organisasi tersebut akan memperlakukan mereka dengan adil.
Menurut Equity Theory (Adams, dalam
Donovan, 2001), karyawan menganggap partisipasi mereka di tempat kerja sebagai
proses barter, di mana mereka memberikan kontribusi seperti keahlian dan kerja
keras mereka, dan sebagai gantinya mereka mengharapkan hasil kerja baik berupa
gaji ataupun pengakuan. Di sini, penekanannya adalah pada persepsi mengenai
keadilan antara apa yang didapatkan karyawan relatif terhadap apa yang mereka
kontribusikan.
Organizational justice atau keadilan organisational
menurut Hassan dan Chandaran (2005) meliputi:
distributive justice, procedural
justice, dan interactional justice.
Distributive justice berkaitan
dengan kewajaran alokasi sumber daya, sedangkan
procedural justice memusatkan
pada kewajaran proses pengambilan keputusan.
Interactional justice mengacu
persepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar pribadi atau informal interaction antara karyawan yang menerima keputusan
dengan pembuat keputusan. Persepsi positif dari keadilan organisasional
mengakibatkan perilaku positif seperti kepuasan kerja, komitmen, dan
kepercayaan (Schmiesing dan Safrit, 2006). Komitmen berkembang pelan-pelan dan
secara konsisten dari waktu ke waktu, sebagai hasil hubungan pegawai dengan
pemberi kerja. Sikap ini secara signifikan dipengaruhi oleh persepsi pegawai
tentang keadilan di dalam organisasi yang bersangkutan (Cropanzano dan Folger,
1996; Tang dan Sarsfield Baldwin, 1996, dalam Knights dan Kennedy, 2005).
Cara lain untuk melihat Keadilan Organisasi
adalah melalui konsep Prosedural
Justice. Di sini, penekanannya adalah apakah prosedur yang digunakan untuk
membagikan hasil kerja pada para karyawan cukup adil atau tidak (Donovan,
2001).
BAB II
KASUS DAN PEMBAHASAN
Kasus
DPD: Tender Ulang Jalan Kalbar
Diawasi Serius
Konten Terkait
Pontianak
(Antara) - Anggota DPD RI dari daerah pemilihan Kalimantan Barat minta
Kementerian Pekerjaan Umum mengawasi secara serius tender ulang pembangunan
jalan Sosok - Tayan dan jalur Simpang Tanjung - Sanggau yang dibatalkan karena
terjadinya kecurangan pemenang.
"Saya
menghargai dan mengapresiasi langkah Menteri PU yang membatalkan hasil tender
itu," kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari dapil Kalbar,
Erma Suryani Ranik dalam keterangan pers yang diterima Antara di Pontianak,
Kamis malam.
Ia
mengatakan, tender proyek jalan tersebut sudah dibatalkan menyusul temuan
adanya kecurangan pemenang tender, berdasarkan laporan masyarakat. Temuan itu
kemudian ditindaklanjuti oleh pihak Inspektorat di Kementerian Pekerjaan Umum.
Hasil
pemeriksaan memperlihatkan, memang benar terjadi kecurangan. "Dalam rangka
mencegah terjadinya penyelewengan uang negara, pembatalan pemenang tender,
menunjukkan niat baik Kementerian PU untuk mempraktikan prinsip `Good and clean
governance`," katanya.
Ia
mengatakan, untuk ke depan, tender ulang yang akan dilakukan dengan cara
"E-Procurement Full" pada tahun ini, harus diawasi dengan serius.
"Agar
tidak terjadi lagi kecurangan dan proyek segera dilaksanakan untuk memastikan
rakyat di lima kabupaten di timur Kalbar segera mendapatkan hak-haknya sebagai
warga negara untuk menikmati infrastruktur transportasi yang aman dan
nyaman," ujarnya.
Pernyataan
anggota DPD RI itu terkait dengan rapat Koordinasi Jalan Negara yang rusak
berat, antara DPD RI, Kementerian PU, Pemerintah Provinsi Kalbar, Pemerintah
Kabupaten Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu di Gedung DPD RI,
Kamis pagi. Pembangunan dan perbaikan jalan selama ini terkatung-katung.
Erma
mengapresiasi alokasi DIPA APBN sebesar Rp1,3 triliun untuk infrastruktur di
Kalbar tahun 2014, yakni berupa pemeliharaan ruas jalan nasional sepanjang
1.600 kilometer.
Meskipun
sebenarnya, menurut dia, jika dibandingkan dengan ruas jalan dengan anggaran
yang tersedia, jumlah tersebut masih jauh dari memadai. "Angka ideal
pembangunan infrastruktur di Kalbar tiap tahun minimal Rp3 triliun, karena
panjang dan luasnya wilayah provinsi ini," kata dia.
Erma
menambahkan, dirinya memahami penjelasan Kementerian PU mengenai rencana tender
ulang yang baru akan dilaksanakan pada akhir Maret mendatang. Dan jika proses
itu bisa berjalan lancar, maka dihitung pada bulan September baru ditentukan
pemenang tender, dan pengerjaan fisik dimulai pada Oktober 2014.
"Ini
semata-mata terkait dengan mekanisme `clean and good governance` agar tidak
terjadi lagi kesalahan yang sama seperti tahun sebelumnya," katanya.
Dia
mengatakan berkomitmen untuk melakukan pengawasan sepenuhnya proyek jalan Tayan
- Sanggau dan Sanggau - Tanjung, termasuk khususnya rencana Kementerian PU akan
mengalokasikan anggaran untuk perbaikan rutin serta diarahkan ke jalan dimaksud
untuk memastikan transportasi masyarakat bisa berjalan lancar.
Anggaran
untuk perbaikan rutin itu disiapkan Rp15 miliar, tetapi juga dipastikan bisa
bertambah atau berkurang sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Sementara
kepada pemerintah provinsi dan pihak-pihak terkait, dia mengharapkan agar
dilakukan langkah tegas dan serius terkait penegakan aturan soal tonase jalan
bagi angkutan baik perusahaan ekspedisi,
tambang maupun perkebunan kelapa sawit yang melewati jalan dimaksud.
Sementara
hasil rapat koordinasi tersebut, salah satu poinnya yakni Pemerintah Provinsi
Kalbar dan lima kabupaten terkait, mendorong Kementerian PU untuk segera
melakukan realisasi penanganan dan pemeliharaan rutin plus, di jalan nasional
Kalbar jika terjadi kerusakan.
Rapat
koordinasi, selain dihadiri pejabat dan kepala daerah di Kalbar, juga diikuti
anggota DPD RI dapil Kalbar, Hairiah dan Dirjen Bina Marga Djoko Murjanto. (ar)
PEMBAHASAN
Berbagai
media massa baik koran, televisi maupun internet sering kali memberitakan
peristiwa-peristiwa mengenai adanya suatu indikasi fraud(kecurangan) pada suatu perusahaan atau
instansi pemerintah yang dilakukan oleh para pegawainya. Sorotan utama topik
tersebut diarahkan pada manajemen puncak perusahaan atau terlebih lagi terhadap
pejabat tinggi suatu instansi pemerintah,
namun sebenarnya penyimpangan perilaku tersebut bisa juga terjadi di berbagai
lapisan kerja organisasi.
Seperti pada kasus serius tender ulang pembangunan
jalan Sosok - Tayan dan jalur Simpang Tanjung - Sanggau yang dibatalkan diatas.
Tender proyek jalan tersebut
dibatalkan karena ditemukan adanya kecurangan pemenang tender. Penemuan ini
berdasarkan laporan masyarakat setempat yang kemudian ditindaklanjuti oleh
pihak Inspektorat di Kementerian Pekerjaan Umum.
Hasil pemeriksaan tindak lanjut
pihak inspektorat di Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan, bahwa memang benar
telah terjadi kecurangan. "Dalam rangka mencegah terjadinya penyelewengan
uang negara, maka pihak kementerian melakukan pembatalan pemenang tender, hal ini untuk menunjukkan niat baik Kementerian
PU untuk mempraktikan prinsip `Good and
clean governance`,"
Untuk
mengantisipasi terjadinya kecurangan kembali maka tender ulang akan dilakukan dengan
cara "E-Procurement Full.
Prosedur pelelangan E- Procurement
kementerian Pekerjaan Umum dapat di lihat pada surat edaran Menteri Pekerjaan
Umum no. 12/SE/M/2008.
BAB III
ANALISIS
KASUS BERDASARKAN STUDI LITERATURE
Kasus
tender ulang di atas termasuk pada bentuk kecurangan (fraud) yang di lakukan oleh pihak penyedia jasa (pemenang tender) diduga bekerja sama
dengan pihak panitia pengadan atau pegawai pemerintah.
Kasus ini termasuk ke dalam jenis atau tipologi Korupsi.
Karena fraud jenis ini sering kali tidak
dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan
(simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan
wewenang/konflik kepentingan (conflict of
interest), penyuapan (bribery),
penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal
gratuities).
Di duga bahwa hal ini terjadi karena faktor Greed
(keserakahan) dan Need (kebutuhan)
serta adanya tekanan, kesempatan, dan
alasan pembenaran. Selain faktor-faktor di atas, faktor yang mendukung
terjadinya fraud, adalah Sistem yang dirumuskan adalah hasil kompromi antara manfaat
(benefit) dari sistem dan biaya (cost) yang disediakan untuk menyusun dan
mengoperasikannya. Pada dasarnya suatu sistem pengendalian internal dibangun
dengan tujuan agar:
1.
Informasi yang diperlukan dapat berjalan lancar,
tepat waktu, lengkap dan cermat.
2.
Organisasi/perusahaan aman dari penyalahgunaan
dan kecurangan.
3.
Biaya pengoperasian tidak mahal.
Ketiga tujuan tersebut pada akhirnya tidak dapat
dicapai seperti yang diharapkan, bahkan bisa kontradiktif. Jika dikehendaki
informasi berjalan lancar, bisa jadi mengorbankan keamanan. Sebaliknya, jika
keamanan diperketat, kelancaran akan terganggu dan biaya penyusunan dan
implementasi sistem menjadi mahal.
Akhirnya
yang diperoleh adalah hasil kompromi dari kontradiksi ini berupa suatu bangunan
sistem pengendalian yang tidak sepenuhnya
membuat informasi berjalan lancar, tidak sepenuhnya aman dan tidak
terlalu mahal. 3. Kesalahan dan
kelalaian pegawai yang menjalankan sistem. Kekurangan pemahaman atau kelalaian
dalam menerapkan sistem dapat terjadi. Kelalaian dan kesalahan (error) dapat
terjadi karena kelemahan yang melekat pada manusia. Kekurang pahaman dapat
diatasi dengan pemberian pengertian dan sosialisasi secara terus-menerus
tentang sistem yang berlaku.
Dalam rencana anti korupsi sanksi yang diberikan
kepada perusahaan yang terbukti melakukan fraud yaitu Sebagai syarat efektif
pinjaman, Departemen PU harus menyusun petunjuk yang memuaskan AusAID tentang
sanksi-sanksi yang diterapkan kepada konsultan dan kontraktor yang ditemukan
terlibat dalam tindak korupsi yang berkaitan dengan proyek, meliputi:
1.
pememutusan kontrak dan dapat menerapkan
sanksi-sanksi tambahan seperti pencairan jaminan
2.
pelaksanaan, dan/atau memasukkan perusahaan
tersebut ke dalam Daftar Hitam Rekanan
3.
Kasus-kasus, dimana bukti korupsi telah
ditemukan dan sanksi telah dikenakan, dapat dipublikasikan dalam website
EINRIP.
Sanksi
untuk Pejabat Publik Yaitu pemberhentian atas tugasnya di EINRIP selama
dilaksanakannya investigasi dan penangguhan proyek sampai waktu yang di
tentukan. Dalam kasus di atas sampai bulan maret ketika pelaksanaan tender
ulang.
BAB IV
REKOMENDASI
1.
Agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang
perlu adanya sanksi-sanksi yang berat sehingga menimbulkan efek jera baik bagi
perusahaan maupun pegawai di lingkungan pemerintah.
2.
Perlu di kembangkan lebih baik sistem terpusat
sehingga e-procurement dan sistem-sistem lainnya saling nerhubungan sehingga
meminimalisir kecurangan.
3.
Perlunya mencari alternatif untuk meminimalisir
kontradiktif dalam pengendalian internal, agar pengendalian internal dapat
berjalan maksimal.
DAFTAR
PUSTAKA
ACFE “ Fraud Examiners Manual , Third Edition 2000.
Albrecht W.Steve and Albrecht Chad O, 2002 . “ Fraud
Examination Thomson South- Western.
Badan Pemeriksa Keuangan. 2009. Penilaian Sistem Pengendalian Intern.
Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Pemeriksa Keuangan.
COSO. 2004. ”Enterprise risk management-integrated
framework”, Committee of Sponsoring Organizations, available
at:www.coso.org/Publications/ERM/COSO_ERM_Executivesummary.pdf
Donovan, J. J. 2001. Work motivation. In N. Anderson, D.S.
Ones, & H.K. Sinangil (Eds), The Handbook of Industrial, Work, and
Organizational Psychology (pp. 53-76). London: Sage Publications.
Hassan, Arif dan Suresh Chandaran. 2005. “Quality
Supervisor-Subordinate Relationship and Work Outcame: Organizational Justice as
Mediator. IIUM Journal of Economic and Management, 13 (1): 1-20, http://www.iiu.edu.my/enmjurnal/131art2.pdf.
Mustafa, Ii Baihaqi; “Pengendalian Intern dan Pemberantasan
Korupsi” diunduh dari Artikel Warta Pengawasan Vol. 10 XI/No. 1/Januari 2004
Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Khusus di Lingkungan
Departemen Pekerjaan Umum, Permen PU No.08/PRT/M/2008.
Prasetyo, et al , Peak Indonesia, 2003, Fraud Prevention and
Investigation, Jakarta.
Republik Indonesia - Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga. Rencana Tindak Anti Korupsi, Anti-Corruption Action Plan (Acap)Untuk Einrip (Eastern Indonesia National Roads Improvement Project (Einrip))
Riduan Simanjuntak, Ak, MBA, CISA, CIA. “Kecurangan: Pengertian dan Pencegahan” (diunduh dari
www.asei.co.id/internal/docs/Asei Kecurangan.docs); [05/02/12
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Peraturan Pemerintah
RI No. 60 tahun 2008.
Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah, Permen
PAN No. PER/05/M.PAN/03/2008, 2008.
Surat
Edaran Menteri Pekerjaan Umum no. 12/SE/M/2008 perihal peningkatan penerapan
Surat Edaran Menteri PU No. 21/SE/M/2007
Tuanakotta, Theodorus M. 2007. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif.
Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusanjel.... keren blog-nya... aq ijin mengutip sebagian ya... tugas darurat nih... di doain tesisnya lancar ya jeng... hehe... makasih....
BalasHapusAamiin. Silahkan santi
Hapus