Rabu, 18 Juni 2014

PENGENDALIAN INTERNAL SEBAGAI VARIABEL MODERATING HUBUNGAN KEADILAN ORGANISASI DENGAN FRAUD



PENGENDALIAN INTERNAL SEBAGAI VARIABEL MODERATING HUBUNGAN KEADILAN ORGANISASI DENGAN FRAUD
(Studi Kasus tender ulang pembangunan jalan Sosok - Tayan dan jalur Simpang Tanjung - Sanggau)

DOSEN
Dr. Tettet Fitrijanti, SE., M.Si., Ak

Oleh :
Anjelita (120620120505)






FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014
PENGENDALIAN INTERNAL SEBAGAI VARIABEL MODERATING HUBUNGAN KEADILAN ORGANISASI DENGAN FRAUD


Jenis fraud (kecurangan) yang terjadi di setiap negara berbeda - berbeda, hal ini karena praktek fraud sangat dipengaruhi oleh kondisi hukum di negara yang bersangkutan. Di negara maju dimana penegakan hukum sudah berjalan dengan baik dan kondisi ekonomi masyarakat secara umum sudah cukup baik maka praktek fraud lebih sedikit bentuknya.
Di Indonesia sejak masa reformasi, tuntutan akan trasparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan keuangan publik semakin kuat. Hal ini disebabkan karena sebelum adanya reformasi pemerintahan Indonesia cenderung bersifat sentralisasi. Untuk itu pemerintah pusat menyiapkan berbagai macam perangkat aturan (regulasi), memperkuat struktur kelembagaan dibidang pengawasan keuangan, penanganan korupsi dan langkah-langkah lainnya.
Ada berbagai macam bentuk fraud yang terjadi pada organisasi sektor publik di Indonesia. Salah satunya adalah korupsi. Kasus korupsi di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Begitu juga dalam upaya pemberantasannya yang belum optimal serta pemberian efek jera. Seperti yang kita ketahui bersama penegakan hukum di Indonesia selalu saja melibatkan permainan uang dan pengaruh kekuasaan. Perilaku korupsi menjalar ke berbagai sendi dalam pemerintahan dan menjadi berbagai konspirasi dari berbagai instansi.
Seperti halnya menangani penyakit, lebih baik mencegah daripada mengobatinya. Para ahli memperkirakan bahwa  fraud yang terungkap merupakan bagian kecil dari seluruh  fraud yang sebenarnya terjadi. Karena itu, upaya utama seharusnya adalah pada pencegahannya.
Karena itu untuk upaya pencegahan  fraud perlu dimulai dari pengendalian internal.
Disamping pengendalian internal, dua konsep penting lainnya dalam pencegahan fraud, yakni menanamkan kesadaran tentang adanya  fraud (fraud awareness)dan upaya menilai risiko terjadinya fraud (fraud risk assessment)(Tuanakotta,2007).
Sistem pengendalian manajemen lebih mengutamakan pengendalian internal yang biasanya lebih dipandang sebagai kunci dalam mencegah kecurangan. Sesuai dengan Committee of sponsoring Organizations(COSO,2004) pengendalian internal adalah :
“... a process, effected by an entity’s board of directors, management and other personnel,designed to provide reasonable assurance regarding the achievement of objectives in (1) the effectiveness  and efficiency of operations, (2) the reliability of financial reporting, and (3) the compliance of applicable laws and regulations.”
Jadi, sistem pengendalian internal secara potensial akan mencegah kesalahan-kesalahan dan kecurangan melalui pengawasan dan meningkatkan proses pelaporan keuangan dan organisational akan sama baiknya menjamin pemenuhan yang bersangkutan dengan hukum dan regulasi.





















BAB I
STUDI LITERATURE

FRAUD (KECURANGAN)
Definisi Fraud menurut Black Law Dictionary dalam Prasetyo et al. (Peak Indonesia, 2003), fraud didefinisikan sebagai: adalah:
1.  A knowing misrepresentation of the truth or concealment of a material fact to induce another to act to his or her detriment;  is usual a tort, but in some cases (esp. when the conduct is willful) it may be a crime, 2.  A misrepresentation made recklessly without belief inits truth to induce another person to act, 3.  A tort arising from knowing misrepresentation, concealment of material fact, or reckless misrepresentation made to induce another to act to his or her detriment.
Yang diterjemahkan (tidak resmi), kecurangan adalah:
1. Kesengajaan atas salah pernyataan terhadap suatu kebenaran atau keadaan yang disembunyikan dari sebuah fakta material yang dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan atau tindakan yang merugikannya, biasanya merupakan kesalahan namun dalam beberapa kasus (khususnya dilakukan secara disengaja) memungkinkan merupakan suatu kejahatan; 2.  penyajian yang salah/keliru (salah pernyataan) yang secara ceroboh/tanpa perhitungan dan tanpa dapat dipercaya kebenarannya berakibat dapat mempengaruhi atau menyebabkan orang lain bertindak atau berbuat; 3. Suatu kerugian yang timbul sebagai akibat diketahui keterangan atau penyajian yang salah (salah pernyataan), penyembunyian fakta material, atau penyajian yang ceroboh/tanpa perhitungan yang mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau bertindak yang merugikannya.
Ada pula yang mendefinisikan  fraud  sebagai suatu tindak kesengajaan untuk menggunakan sumber daya perusahaan secara tidak wajar dan salah menyajikan fakta untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dalam bahasa yang lebih sederhana,  fraud  adalah penipuan yang disengaja. Hal ini termasuk berbohong, menipu, menggelapkan dan mencuri. Yang dimaksud dengan penggelapan disini adalah merubah aset/kekayaan perusahaan yang dipercayakan kepadanya secara tidak wajar untuk kepentingan dirinya. Dengan demikian, perbuatan yang dilakukannya adalah untuk menyembunyikan, menutupi atau dengan cara tidak jujur lainnya melibatkan atau meniadakan suatu perbuatan atau membuat pernyataan yang salah dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dibidang keuangan atau keuntungan lainnya atau meniadakan suatu kewajiban bagi dirinya dan mengabaikan hak orang lain.

Klasifikasi Fraud (Kecurangan)
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)  atau Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi profesional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan mempunyai tujuan untuk memberantas kecurangan, mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “Fraud Tree” yaitu Sistem Klasifikasi Mengenai Hal-hal yang Ditimbulkan Sama Oleh Kecurangan  (Uniform Occupational Fraud Classification System).  The ACFE membagi  Fraud  (Kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi berdasarkan perbuatan yaitu:
1.  Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation);
Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk  fraud  yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).
2.  Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement);
Fraudulent statement  meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa  keuangan  (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.
3.  Korupsi (Corruption).
Jenis  fraud  ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang  penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan.  Fraud  jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).

Faktor Pemicu Fraud (Kecurangan)
Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, yang disebut juga dengan teori GONE, yaitu (Simanjuntak,2008):
1.  Greed (keserakahan)
2.  Opportunity (kesempatan)
3.  Need (kebutuhan)
4.  Exposure (pengungkapan)
Faktor  Greed  dan  Need  merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku kecurangan (disebut juga faktor individual). Sedangkan faktor Opportunity dan Exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan (disebut juga faktor generik/umum).
Dennis Greer menyebut tiga elemen kunci yang disebut sebagai segitiga fraud  (fraud triangle) yang mendorong seseorang atau sekelompok orang melakukan fraud. Ketiga elemen tersebut adalah (STAN,2007):
1. Adanya tekanan.
2. Adanya kesempatan.
3. Adanya alasan pembenaran.
Elemen pertama dan ketiga lebih melekat pada kondisi kehidupan dan sikap mental/moral pribadi seseorang, sedangkan elemen kedua terkait dengan sistem pengendalian internal dalam suatu organisasiatau perusahaan.

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan tekanan (pressure) antara lain:
1        Masalah keuangan, seperti tamak/rakus, hidup melebihi kemampuan, banyak hutang, biaya kesehatan yang besar, kebutuhan tak terduga.
2        Sifat buruk, seperti penjudi, peminum, pecandu narkoba.
3        Lingkungan pekerjaannya, misalnya sudah bekerja dengan baik tetapi kurang mendapat perhatian, kondisi kerja yang buruk.
4        Lain-lain seperti tekanan dari lingkungan keluarga.

Adapun faktor-faktor yang dapat meningkatkan adanya peluang atau kesempatan (opportunity) seseorang berbuat fraud antara lain:
1.       Sistem pengendalian internal yang sering juga disebut pengendalian internal, yang lemah.
2.       Tidak mampu menilai kualitas kerja karena tidak punya alat atau kriteria pengukurannya.
3.       Kurang atau tidak adanya akses terhadap informasi sehingga tidak memahami keadaan yang sebenarnya.
4.       Gagal mendisiplinkan atau memberikan sanksi pada pelaku fraud.
5.       Lalai, apatis, acuh tak acuh.
6.       Kurang atau tidak adanya  audit trail  (jejak audit), sehingga tidak dapat dilakukan penelusuran data.

Faktor-faktor yang mendorong seseorang mencari pembenaran (rationalization) atas tindakannya melakukan fraud, antara lain :
1.      Mencontoh atasan atau teman sekerja.
2.      Merasa sudah berbuat banyak kepada organisasi/perusahaan.
3.      Menganggap bahwa yang diambil tidak seberapa.
4.      Dianggap hanya sekadar meminjam, pada waktunya akan dikembalikan.

Pelaku dari Fraud
Menurut Sie Infokum – Ditama Binbangkum tahun 2008  bahwa pelaku kecurangan di atas dapat diklasifikasikan ke dalam  dua kelompok, yaitu manajemen dan karyawan/pegawai. Pihak manajemen melakukan kecurangan biasanya untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah  saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan (misstatements arising from fraudulent financial reporting). Sedangkan karyawan/pegawai melakukan kecurangan  bertujuan untuk keuntungan individu, misalnya salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva (misstatements arising from misappropriation of assets).
Kecurangan pelaporan keuangan biasanya dilakukan karena dorongan dan ekspektasi terhadap prestasi kerja manajemen. Salah saji yang timbul karena kecurangan terhadap pelaporan keuangan lebih dikenal dengan istilah irregularities  (ketidakberesan). Bentuk kecurangan seperti ini seringkali dinamakan kecurangan manajemen (management fraud), misalnya berupa : Manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan terhadap catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang merupakan sumber penyajian laporan keuangan.
Kesengajaan dalam salah menyajikan atau sengaja menghilangkan (intentional omissions) suatu transaksi, kejadian, atau informasi pentingdari laporan keuangan.
Kecurangan penyalahgunaan aktiva biasanya disebut kecurangan karyawan (employee fraud). Salah saji yang berasal dari penyalahgunaan aktiva meliputi penggelapan aktiva perusahaan yang mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Penggelapan aktiva umumnya dilakukan oleh karyawan  yang menghadapi masalah keuangan dan dilakukan karena melihat adanya peluang kelemahan pada pengendalian internal perusahaan serta pembenaran terhadap tindakan tersebut.
Contoh salah saji jenis ini adalah :
  1. Penggelapan terhadap penerimaan kas;
  2. Pencurian aktiva perusahaan;
  3. Mark-upharga;
  4. Transaksi “tidak resmi”.


Pencegahan Kecurangan
Peran utama dari internal auditor sesuai dengan fungsinya dalam pencegahan kecurangan adalah berupaya untuk menghilangkan atau mengeleminir sebab-sebab timbulnya kecurangan tersebut. Karena pencegahan terhadap akan terjadinya suatu perbuatan curang akan lebih mudah daripada mengatasi bila telah terjadi kecurangan tersebut. Pada dasarnya kecurangan sering terjadi pada suatu suatu entitas apabila :
1        Pengendalian internal tidak ada atau lemah atau dilakukan dengan longgar dan tidak efektif.
2        Pegawai dipekerjakan tanpa memikirkan kejujuran dan integritas mereka.
3        Pegawai diatur, dieksploitasi dengan tidak baik, disalah gunakan atau ditempatkan dengan tekanan yang besar untuk mencapai sasaran dan tujuan keuangan yang mengarah tindakan kecurangan.
4        Model manajemen sendiri melakukan kecurangan, tidak efsien dan atau tidak efektif serta tidak taat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
5        Pegawai yang dipercaya memiliki masalah pribadi yang tidak dapat dipecahkan, biasanya masalah keuangan, kebutuhan kesehatan keluarga, gaya hidup yang berlebihan.
6        Industri dimana perusahaan menjadi bagiannya, memiliki sejarah atau tradisi kecurangan.
Pencegahan kecurangan pada umumnya adalah aktivitas yang dilaksanakan manajemen dalam hal penetapan kebijakan, sistem dan prosedur yang membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan sudah dilakukan dewan komisaris, manajemen, dan personil lain perusahaan untuk dapat memberikan keyakinan memadai dalam mencapai 3 ( tiga ) tujuan pokok yaitu; keandalan pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi serta kepatuhan terhadap hukum & peraturan yang berlaku ( COSO: 1992).

PENGENDALIAN INTERNAL
Definisi Pengawasan Intern yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik. Pada PP Pasal 2 ayat 1 tercantum bahwa pengendalian penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dilakukan untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel.

Tindakan/aktivitas pengendalian yang ada dalam organisasi dikelompokkan dalam (BPK,2009) :
1        Pengendalian Pencegahan (preventive controls) bertujuan untuk mencegah galat (errors) atau peristiwa yang tidak diinginkan terjadi.
2        Pengendalian Pendeteksian (detective controls) bertujuan untuk menginformasikan kepada manajemen galat atau masalah yang sedang terjadi atau beberapa saat setelah terjadi.
3        Pengendalian Pemulihan (corrective controls) biasanya digunakan bersama dengan pendeteksian, bertujuan untuk memperbaiki kembali dari akibat terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan.

Menurut COSO, pengendalian internal merupakan suatu proses yang dipengaruhi oleh direksi organisasi, manajemen, dan personel lainnya, yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai akan tercapainya tujuan dalam kategori berikut (BPK,2009) :
a.       Efektivitas dan efisiensi operasi
b.      Keandalan pelaporan keuangan
c.       Ketaatan pada hukum dan peraturan yang berlaku

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pengendalian internal pemerintah memiliki tujuan untuk mencapai pengelolaan keuangan baik di pemerintahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Pengendalian merupakan suatu tindakan atau aktivitas yang dilakukan manajemen untuk memastikan (secara memadai, bukan mutlak) tercapainya tujuan dan sasaran organisasi.

Tujuan pengendalian internal adalah menjamin manajemen perusahaan agar:
1.  Tujuan perusahaan yang ditetapkan akan dapat dicapai.
2.  Laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan dapat dipercaya.
3.  Kegiatan perusahaan sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Pengendalian internal dapat mencegah kerugian atau  pemborosan pengolahan sumber daya perusahaan. Pengendalian internal dapat menyediakan informasi tentang bagaimana menilai kinerja perusahaan dan manajemen perusahaan serta menyediakan informasi yang akan digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan.
Sasaran Pengendalian Internal adalah :
1.  Mendukung operasi perusahaan yang efektif dan efisien.
2.  Laporan Keuangan yang handal/akuntabel
3.  Perlindungan aset
4.  Mengecek keakuratan dan kehandalan data akuntansi
5.  kesesuaian dengan hukum dan peraturan–peraturan yang berlaku
6.  membantu menentukan kebijakan manajerial

Komponen Pengendalian Internal
Pengendalian internal sebagaimana didefinisikan oleh COSO, terdiri atas lima komponen yang saling terkait (Mustafa,2004), yaitu:
1        Lingkungan pengendalian (control environment)
2        Penaksiran risiko (risk assessment)
3        Aktivitas pengendalian (control activities)
4        Informasi dan komunikasi (information and communication)
5        Pemantauan (monitoring).
Komponen pertama, lingkungan pengendalian adalah tindakan, kebijakan, dan prosedur yang merefleksikan seluruh sikap top manajemen, dewan komisaris, dan pemilik entitas tentang pentingnya pengendaliandalam suatu entitas, yang mencakup
a.       Integritas dan nilai etika (integrity and ethical values);
b.      Komitmen terhadap kompetensi (commitment to competence);
c.       Partisipasi dewan komisaris atau komite audit  (Board of Directors or Audit Committee participation);
d.      Filosofi dan gaya operasi manajemen  (management’s philosophy and operating style);
e.       Struktur organisasi (organizational structure);
f.        Pemberian otoritas dan tanggung jawab  (assigment of authority and responsibility);
g.       Kebijakan dan praktik sumber daya manusia  (human resource policies and practices).

Komponen kedua penaksiran risiko dalam sistem pengendalian internal adalah usaha manajemen untuk mengidentifikasi dan menganalisis risiko yang relevan dalam menyiapkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan.

Komponen ketiga, aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang dibangun oleh manajemen untuk mencapai tujuan  laporan keuangan yang obyektif. Aktivitas pengendalian dapat digolongkan  dalam pemisahan tugas yang memadai, otorisasi yang tepat atas transaksi dan aktivitas, pendokumentasian dan pencatatan yang cukup, pengawasan aset antara catatan dan fisik, serta pemeriksaan independen atas kinerja.

Komponen keempat informasi dan komunikasi dalam pengendalian internal adalah metode yang dipergunakan untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, mengklasifikasi, mencatat dan melaporkan semua transaksi entitas, serta untuk memelihara akuntabilitas yang  berhubungan dengan aset. Transaksi-transaksi harus memuaskan dalam hal eksistensi, kelengkapan, ketepatan, klasifikasi, tepat waktu, serta dalam posting dan mengikhtisarkan.

Komponen kelima pemantauan kegiatan pengendalian internal secara periodik harus dipantau oleh manajemen. Pemantauan  meliputi penilaian atas kualitas kinerja pengendalian internal untuk menentukan apakah operasi pengendalian memerlukan modifikasi atau perbaikan.

Kelemahan Sistem Pengendalian Internal dalam Pencegahan Fraud
Dalam uraian sebelumnya dikemukakan bahwa untuk mencegah terjadinya fraud  yang efektif adalah dengan membangun sistem pengendalian internal.
Namun bagaimanapun baiknya sistem yang kita ciptakan akan selalu ada kekurangannya. Tidak ada sistem yang dapat sempurna untuk mencegah terjadinya  fraud.  Bagaimanapun ia dirancang dan diimplementasikan secara cermat dan hati-hati.
Kelemahan yang melekat pada sistem pengendalian internal adalah:
1.      Sistem yang baik sekalipun tidak dapat berjalan bilamana sekelompok pegawai berkolusi atau bekerjasama untuk melanggar  sistem. Dengan kolusi, akan terlihat di permukaan seolah-olah sistem dipatuhi tetapi pada hakekatnya dilanggar, antara lain dengan menggunakan dokumen fiktif dan prosedur yang direkayasa. Contohnya, prosedur dan proses tender terlihat benar, tapi sebenarnya direkayasa seperti tender arisan, tenderyang sebenarnya hanya diikuti oleh penawar dari grup atau tender yang diarahkan untuk dimenangkan rekanan tertentu yang mengarah pada merek tertentu.
2.      Sistem yang dirumuskan adalah hasil kompromi antara manfaat (benefit) dari sistem dan biaya (cost) yang disediakan untuk menyusun dan mengoperasikannya. Pada dasarnya suatu sistem pengendalian internal dibangun dengan tujuan agar:
a.       Informasi yang diperlukan dapat berjalan lancar, tepat waktu, lengkap dan cermat.
b.      Organisasi/perusahaan aman dari penyalahgunaan dan kecurangan.
c.       Biaya pengoperasian tidak mahal.

Ketiga tujuan tersebut tidak dapat dicapai seperti yang diharapkan, bahkan bisa kontradiktif. Jika dikehendaki informasi berjalan lancar, bisa jadi mengorbankan keamanan. Sebaliknya, jika keamanan diperketat, kelancaran akan terganggu dan biaya penyusunan dan implementasi sistem menjadi mahal.
Akhirnya yang diperoleh adalah hasil kompromi dari kontradiksi ini berupa suatu bangunan sistem pengendalian yang tidak sepenuhnya  membuat informasi berjalan lancar, tidak sepenuhnya aman dan tidak terlalu mahal. 3.  Kesalahan dan kelalaian pegawai yang menjalankan sistem. Kekurangan pemahaman atau kelalaian dalam menerapkan sistem dapat terjadi. Kelalaian dan kesalahan (error) dapat terjadi karena kelemahan yang melekat pada manusia. Kekurang pahaman dapat diatasi dengan pemberian pengertian dan sosialisasi secara terus-menerus tentang sistem yang berlaku. Meskipun tidak ada suatu sistem pengendalian internal yang sempurna, keberadaanya sangat membantu untuk lebih cepat mendeteksi  fraud  bila telah terlanjur terjadi. Adanya celah yang dapat diterobos (Loopholes) dari suatu sistem yang bersifat teknis mekanis diharapkan dapat ditutup oleh integritas dan kejujuran dari jajaran seluruh karyawan serta keteladanan dan keterbukaan
pimpinan dalam kerangka bangunan nilai-nilai budaya perusahaan.

ORGANIZATIONAL JUSTICE (KEADILAN ORGANISATIONAL)
Karyawan yang bekerja di sebuah organisasi akan berharap bahwa organisasi tersebut akan memperlakukan mereka dengan adil. Menurut  Equity Theory (Adams, dalam Donovan, 2001), karyawan menganggap partisipasi mereka di tempat kerja sebagai proses barter, di mana mereka memberikan kontribusi seperti keahlian dan kerja keras mereka, dan sebagai gantinya mereka mengharapkan hasil kerja baik berupa gaji ataupun pengakuan. Di sini, penekanannya adalah pada persepsi mengenai keadilan antara apa yang didapatkan karyawan relatif terhadap apa yang mereka kontribusikan.
Organizational justice atau keadilan organisational menurut Hassan dan Chandaran (2005) meliputi:  distributive justice,  procedural justice, dan interactional justice.  Distributive justice  berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya, sedangkan  procedural justice  memusatkan pada kewajaran proses pengambilan keputusan.  Interactional justice  mengacu persepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar pribadi atau  informal interaction  antara karyawan yang menerima keputusan dengan pembuat keputusan. Persepsi positif dari keadilan organisasional mengakibatkan perilaku positif seperti kepuasan kerja, komitmen, dan kepercayaan (Schmiesing dan Safrit, 2006). Komitmen berkembang pelan-pelan dan secara konsisten dari waktu ke waktu, sebagai hasil hubungan pegawai dengan pemberi kerja. Sikap ini secara signifikan dipengaruhi oleh persepsi pegawai tentang keadilan di dalam organisasi yang bersangkutan (Cropanzano dan Folger, 1996; Tang dan Sarsfield Baldwin, 1996, dalam Knights dan Kennedy, 2005).
Cara lain untuk melihat Keadilan Organisasi adalah  melalui konsep Prosedural Justice. Di sini, penekanannya adalah apakah prosedur yang digunakan untuk membagikan hasil kerja pada para karyawan cukup adil atau tidak (Donovan, 2001).



BAB II
KASUS DAN PEMBAHASAN


Kasus
DPD: Tender Ulang Jalan Kalbar Diawasi Serius
AntaraAntara – Kam, 20 Feb 2014
Konten Terkait
DPD: Tender Ulang Jalan Kalbar Diawasi Serius 
Pontianak (Antara) - Anggota DPD RI dari daerah pemilihan Kalimantan Barat minta Kementerian Pekerjaan Umum mengawasi secara serius tender ulang pembangunan jalan Sosok - Tayan dan jalur Simpang Tanjung - Sanggau yang dibatalkan karena terjadinya kecurangan pemenang.
"Saya menghargai dan mengapresiasi langkah Menteri PU yang membatalkan hasil tender itu," kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari dapil Kalbar, Erma Suryani Ranik dalam keterangan pers yang diterima Antara di Pontianak, Kamis malam.
Ia mengatakan, tender proyek jalan tersebut sudah dibatalkan menyusul temuan adanya kecurangan pemenang tender, berdasarkan laporan masyarakat. Temuan itu kemudian ditindaklanjuti oleh pihak Inspektorat di Kementerian Pekerjaan Umum.
Hasil pemeriksaan memperlihatkan, memang benar terjadi kecurangan. "Dalam rangka mencegah terjadinya penyelewengan uang negara, pembatalan pemenang tender, menunjukkan niat baik Kementerian PU untuk mempraktikan prinsip `Good and clean governance`," katanya.
Ia mengatakan, untuk ke depan, tender ulang yang akan dilakukan dengan cara "E-Procurement Full" pada tahun ini, harus diawasi dengan serius.
"Agar tidak terjadi lagi kecurangan dan proyek segera dilaksanakan untuk memastikan rakyat di lima kabupaten di timur Kalbar segera mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara untuk menikmati infrastruktur transportasi yang aman dan nyaman," ujarnya.
Pernyataan anggota DPD RI itu terkait dengan rapat Koordinasi Jalan Negara yang rusak berat, antara DPD RI, Kementerian PU, Pemerintah Provinsi Kalbar, Pemerintah Kabupaten Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu di Gedung DPD RI, Kamis pagi. Pembangunan dan perbaikan jalan selama ini terkatung-katung.
Erma mengapresiasi alokasi DIPA APBN sebesar Rp1,3 triliun untuk infrastruktur di Kalbar tahun 2014, yakni berupa pemeliharaan ruas jalan nasional sepanjang 1.600 kilometer.
Meskipun sebenarnya, menurut dia, jika dibandingkan dengan ruas jalan dengan anggaran yang tersedia, jumlah tersebut masih jauh dari memadai. "Angka ideal pembangunan infrastruktur di Kalbar tiap tahun minimal Rp3 triliun, karena panjang dan luasnya wilayah provinsi ini," kata dia.
Erma menambahkan, dirinya memahami penjelasan Kementerian PU mengenai rencana tender ulang yang baru akan dilaksanakan pada akhir Maret mendatang. Dan jika proses itu bisa berjalan lancar, maka dihitung pada bulan September baru ditentukan pemenang tender, dan pengerjaan fisik dimulai pada Oktober 2014.
"Ini semata-mata terkait dengan mekanisme `clean and good governance` agar tidak terjadi lagi kesalahan yang sama seperti tahun sebelumnya," katanya.
Dia mengatakan berkomitmen untuk melakukan pengawasan sepenuhnya proyek jalan Tayan - Sanggau dan Sanggau - Tanjung, termasuk khususnya rencana Kementerian PU akan mengalokasikan anggaran untuk perbaikan rutin serta diarahkan ke jalan dimaksud untuk memastikan transportasi masyarakat bisa berjalan lancar.
Anggaran untuk perbaikan rutin itu disiapkan Rp15 miliar, tetapi juga dipastikan bisa bertambah atau berkurang sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Sementara kepada pemerintah provinsi dan pihak-pihak terkait, dia mengharapkan agar dilakukan langkah tegas dan serius terkait penegakan aturan soal tonase jalan bagi angkutan baik perusahaan ekspedisi, tambang maupun perkebunan kelapa sawit yang melewati jalan dimaksud.
Sementara hasil rapat koordinasi tersebut, salah satu poinnya yakni Pemerintah Provinsi Kalbar dan lima kabupaten terkait, mendorong Kementerian PU untuk segera melakukan realisasi penanganan dan pemeliharaan rutin plus, di jalan nasional Kalbar jika terjadi kerusakan.
Rapat koordinasi, selain dihadiri pejabat dan kepala daerah di Kalbar, juga diikuti anggota DPD RI dapil Kalbar, Hairiah dan Dirjen Bina Marga Djoko Murjanto. (ar)

PEMBAHASAN
Berbagai media massa baik koran, televisi maupun internet sering kali memberitakan peristiwa-peristiwa mengenai adanya suatu indikasi  fraud(kecurangan) pada suatu perusahaan atau instansi pemerintah yang dilakukan oleh para pegawainya. Sorotan utama topik tersebut diarahkan pada manajemen puncak perusahaan atau terlebih lagi terhadap pejabat  tinggi suatu instansi pemerintah, namun sebenarnya penyimpangan perilaku tersebut bisa juga terjadi di berbagai lapisan kerja organisasi.
Seperti pada kasus serius tender ulang pembangunan jalan Sosok - Tayan dan jalur Simpang Tanjung - Sanggau yang dibatalkan diatas. Tender proyek jalan tersebut dibatalkan karena ditemukan adanya kecurangan pemenang tender. Penemuan ini berdasarkan laporan masyarakat setempat yang kemudian ditindaklanjuti oleh pihak Inspektorat di Kementerian Pekerjaan Umum.
Hasil pemeriksaan tindak lanjut pihak inspektorat di Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan, bahwa memang benar telah terjadi kecurangan. "Dalam rangka mencegah terjadinya penyelewengan uang negara, maka pihak kementerian melakukan pembatalan pemenang tender,  hal ini untuk menunjukkan niat baik Kementerian PU untuk mempraktikan prinsip `Good and clean governance`,"
Untuk mengantisipasi terjadinya kecurangan kembali maka tender ulang akan dilakukan dengan cara "E-Procurement Full.
Prosedur pelelangan E- Procurement kementerian Pekerjaan Umum dapat di lihat pada surat edaran Menteri Pekerjaan Umum no. 12/SE/M/2008.





BAB III
ANALISIS KASUS BERDASARKAN STUDI LITERATURE


Kasus tender ulang di atas termasuk pada bentuk kecurangan (fraud) yang di lakukan oleh pihak penyedia jasa (pemenang tender) diduga bekerja sama dengan pihak panitia pengadan atau pegawai pemerintah.
Kasus ini termasuk ke dalam jenis atau tipologi Korupsi. Karena fraud  jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities).

Di duga bahwa hal ini terjadi karena faktor  Greed  (keserakahan) dan  Need (kebutuhan)  serta adanya tekanan, kesempatan, dan alasan pembenaran. Selain faktor-faktor di atas, faktor yang mendukung terjadinya fraud, adalah Sistem yang dirumuskan adalah hasil kompromi antara manfaat (benefit) dari sistem dan biaya (cost) yang disediakan untuk menyusun dan mengoperasikannya. Pada dasarnya suatu sistem pengendalian internal dibangun dengan tujuan agar:
1.      Informasi yang diperlukan dapat berjalan lancar, tepat waktu, lengkap dan cermat.
2.      Organisasi/perusahaan aman dari penyalahgunaan dan kecurangan.
3.      Biaya pengoperasian tidak mahal.
Ketiga tujuan tersebut pada akhirnya tidak dapat dicapai seperti yang diharapkan, bahkan bisa kontradiktif. Jika dikehendaki informasi berjalan lancar, bisa jadi mengorbankan keamanan. Sebaliknya, jika keamanan diperketat, kelancaran akan terganggu dan biaya penyusunan dan implementasi sistem menjadi mahal.
Akhirnya yang diperoleh adalah hasil kompromi dari kontradiksi ini berupa suatu bangunan sistem pengendalian yang tidak sepenuhnya  membuat informasi berjalan lancar, tidak sepenuhnya aman dan tidak terlalu mahal. 3.  Kesalahan dan kelalaian pegawai yang menjalankan sistem. Kekurangan pemahaman atau kelalaian dalam menerapkan sistem dapat terjadi. Kelalaian dan kesalahan (error) dapat terjadi karena kelemahan yang melekat pada manusia. Kekurang pahaman dapat diatasi dengan pemberian pengertian dan sosialisasi secara terus-menerus tentang sistem yang berlaku.
Dalam rencana anti korupsi sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang terbukti melakukan fraud yaitu Sebagai syarat efektif pinjaman, Departemen PU harus menyusun petunjuk yang memuaskan AusAID tentang sanksi-sanksi yang diterapkan kepada konsultan dan kontraktor yang ditemukan terlibat dalam tindak korupsi yang berkaitan dengan proyek, meliputi:
1.      pememutusan kontrak dan dapat menerapkan sanksi-sanksi tambahan seperti pencairan jaminan
2.      pelaksanaan, dan/atau memasukkan perusahaan tersebut ke dalam Daftar Hitam Rekanan
3.      Kasus-kasus, dimana bukti korupsi telah ditemukan dan sanksi telah dikenakan, dapat dipublikasikan dalam website EINRIP.

Sanksi untuk Pejabat Publik Yaitu pemberhentian atas tugasnya di EINRIP selama dilaksanakannya investigasi dan penangguhan proyek sampai waktu yang di tentukan. Dalam kasus di atas sampai bulan maret ketika pelaksanaan tender ulang.







BAB IV
REKOMENDASI

1.      Agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang perlu adanya sanksi-sanksi yang berat sehingga menimbulkan efek jera baik bagi perusahaan maupun pegawai di lingkungan pemerintah.
2.      Perlu di kembangkan lebih baik sistem terpusat sehingga e-procurement dan sistem-sistem lainnya saling nerhubungan sehingga meminimalisir kecurangan.
3.      Perlunya mencari alternatif untuk meminimalisir kontradiktif dalam pengendalian internal, agar pengendalian internal dapat berjalan maksimal.












DAFTAR PUSTAKA

ACFE “ Fraud Examiners Manual , Third Edition 2000.
Albrecht W.Steve and Albrecht Chad O, 2002 . “ Fraud Examination Thomson South- Western.
Badan Pemeriksa Keuangan. 2009.  Penilaian Sistem Pengendalian Intern. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Pemeriksa Keuangan.
COSO. 2004. ”Enterprise risk management-integrated framework”, Committee of Sponsoring Organizations, available at:www.coso.org/Publications/ERM/COSO_ERM_Executivesummary.pdf
Donovan, J. J. 2001. Work motivation. In N. Anderson, D.S. Ones, & H.K. Sinangil (Eds), The Handbook of Industrial, Work, and Organizational Psychology (pp. 53-76). London: Sage Publications.
Hassan, Arif dan Suresh Chandaran. 2005. “Quality Supervisor-Subordinate Relationship and Work Outcame: Organizational Justice as Mediator. IIUM Journal of Economic and Management, 13 (1): 1-20, http://www.iiu.edu.my/enmjurnal/131art2.pdf.
Mustafa, Ii Baihaqi; “Pengendalian Intern dan Pemberantasan Korupsi” diunduh dari Artikel Warta Pengawasan Vol. 10 XI/No. 1/Januari 2004
Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Khusus di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, Permen PU No.08/PRT/M/2008.
Prasetyo, et al , Peak Indonesia, 2003, Fraud Prevention and Investigation, Jakarta.

Republik Indonesia - Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga. Rencana Tindak Anti Korupsi, Anti-Corruption Action Plan (Acap)Untuk Einrip (Eastern Indonesia National Roads Improvement Project (Einrip))

Riduan Simanjuntak, Ak, MBA, CISA, CIA.  “Kecurangan: Pengertian dan Pencegahan”  (diunduh dari www.asei.co.id/internal/docs/Asei Kecurangan.docs); [05/02/12
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Peraturan Pemerintah RI No. 60 tahun 2008.
Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah, Permen PAN No. PER/05/M.PAN/03/2008, 2008.
Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum no. 12/SE/M/2008 perihal peningkatan penerapan Surat Edaran Menteri PU No. 21/SE/M/2007
Tuanakotta, Theodorus M. 2007.  Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. anjel.... keren blog-nya... aq ijin mengutip sebagian ya... tugas darurat nih... di doain tesisnya lancar ya jeng... hehe... makasih....

    BalasHapus