MATA KULIAH
ETIKA BISNIS
Dosen : Dr.
Srihadi W. Zarkasyi, SE, Ak, MSi
Di susun
oleh :
Anjelita
120620120505
MAGISTER
AKUNTANSI – KEMENPU
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
2013
Moral Filsafat Perspektif terdiri dari:
- Teleologis
- Deontologis
- Relativis Perspektif
- Etika Moralitas
- Keadilan Perpektif
1. Teleologis
Ferrel dalam busines ethich, 2011 mengatakan bahwa “Teleology
(from the Greek word for “end” or “purpose”) refers to moral
philosophies in which an act is considered morally right or acceptable if it
produces some desired result such as pleasure, knowledge, career growth, the
realization of self-interest, utility, wealth, or even fame. In other words,
teleological philosophies assess the moral worth of a behavior by looking at
its consequences, and thus moral philosophers today often refer to these
theories as consequentialism. Two important teleological philosophies that often guide
decision making in individual business decisions are egoism and
utilitarianism.”
Dalam
bahasa indonesia dapat kita artikan “Teleologi (dari
kata Yunani untuk "akhir" atau "tujuan") mengacu pada
filsafat moral dalam tindakan
yang dianggap secara moral benar atau diterima jika itu menghasilkan beberapa
hasil yang diinginkan seperti
kesenangan, pengetahuan, pertumbuhan karir, realisasi kepentingan pribadi,
kekayaan utilitas, atau
bahkan ketenaran. Dengan kata lain, filsafat teleologis menilai nilai moral
perilaku dengan melihat
konsekuensinya, dan dengan demikian filsuf moral saat ini sering merujuk teori sebagai konsekuensialisme”.
Teleological
theories have an account of the good which is fully independent from the right,
and a fully dependent theory of the right (as that which maximizes the good).
All teleological theories are identical in structure, although they may differ in substance
according to how they define the content of the good (as utility,
happiness, pleasure, excellence, beauty, etc). Utilitarianism, hedonism,
eudaimonism, as well as forms of perfectionsim which value non-moral forms of
human excellence are all teleological theories (Rawls 1999, p. 22 dalam Ronzoni);
Dua teleologis filsafat yang sering membimbing pengambilan keputusan dalam keputusan bisnis individu yaitu egoisme dan utilitarianisme.
Egoisme mendefinisikan perilaku yang benar atau
dapat diterima dalam hal konsekuensinya
bagi individu. Egois percaya bahwa
mereka harus membuat keputusan yang memaksimalkan kepentingan pribadi mereka sendiri, yang didefinisikan secara berbeda oleh
masing-masing individu.
Tergantung pada egois ini, kepentingan diri sendiri mungkin diartikan sebagai kesejahteraan
fisik, kesenangan listrik, ketenaran,
karir yang memuaskan, kehidupan keluarga yang baik, kekayaan, atau sesuatu yang lain. Dalam situasi pengambilan keputusan
etis, egois mungkin
akan memilih alternatif yang memberikan kontribusi paling banyak untuk kepentingan pribadi (Ferrel 2011).
Inti pandangan egoisme adalah bahwa
tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan
memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang
adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru
menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika
kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai
kenikmatan fisik yg bersifat vulgar.
Sedangkan Utilitarianisme berasal dari
kata “utilis” yang berati manfaat. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah
baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja
satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Sebaliknya, yang jahat
atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena
itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna,
berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dari prinsip ini, tersusunlah teori
tujuan perbuatan.
Utilitarianisme pertama kali dikembangkan
oleh Jeremy Benthan (1748-1832 M), serta dilengkapi oleh John Stuart Mill
(1806-1873). Permasalahan yang dihadapi pada waktu itu adalah bagaimana menilai
baik buruknya suatu kebijakan publik, yaitu kebijakan yang berdampak besar bagi
kepentingan banyak orang (Satyanugraha, 2003 hal 43).
Jeremy Bentham (1748-1832 M) dalam Ruhullah berpendapat,
manusia berada pada dua “penguasa”: ketidaksenangan dan kesenangan. Manusia
cenderung menjauhi ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan adalah
memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dinilai baik jika
dapat meningkatkan kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Inilah the
principle of utility (prinsip kegunaaan), yakni the greatest happiness
of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar).
Karena itu, penetapan kegunaaan pun harus melalui kuantifikasi. Bentham
mengembangkan the hedonistic number.
John Stuart Milll (1806-1873). Mill mengkritik
Bentham. Menurutnya, kebahagiaaan/kesenangan perlu mempertimbangakn sisi
kualitasnya juga. Baginya, ada kesenangan yang bermutu rendah dan ada yang
bermutu tingi. Seperti kesenangan Sokrates lebih bermutu dibandingkan
kesenangan orang tolol. Lalu, kesenangan pun bisa diukur secara empiris melalui
orang bijak dan berpengalaman dalam hal ini. Prinsip Mill yang patut dicatat
adalah bahwa suatu perbutan dinilai baik jika lebahagiaan melebihi
ketidakbahagiaaan, dimana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan
cara yang sama.
Dalam
bukunya Ferrel mengatakan utilitarianisme
berkaitan dengan konsekuensi, tetapi utilitarian mencari kebaikan terbesar untuk semua orang. Utilitarian percaya bahwa mereka harus membuat keputusan yang menghasilkan utilitas
total terbesar, yang mencapai manfaat
terbesar untuk semua mereka yang terkena dampak keputusan.
Dari
uraian dia atas dapat kita simpulkan bahwa utilitarianisme adalah suatu doktrin
moral yang berpendapat bahwa kita seharusnya bertindak untuk menghasilkan
sebanyak mungkin manfaat untuk semua orang. Saat kita bertingkah laku kita
perlu bertanya pada diri sendiri apakah konsekuensinya untuk kita maupun orang
lain. Jika bermanfaat maka tindakan tersebut dianggap benar.
Contoh:
Kita mengetahui bahwa rokok menjadi
sponsor dari banyak cabang pada bidang olah raga, dan juga sponsor dalam bidang
pengembangan perpustakaan di Indonesia. Industri rokok “menolong” kemajuan olahraga dan
pengetahuan dengan menggelontorkan dana sebanyak-banyaknya, namun
berpengharapan para pecinta olahraga dan pengguna perpustakaan menjadi perokok
aktif maupun pasif. Jelas, menolong yang dilakukan adalah berdasarkan
keterpautan kepentingan diri sendiri.
2.
Deontologi
Istilah deontologi berasal dari
kata Yunani ‘deon’
yang berarti kewajiban. Dalam pemahaman teori Deontologi memang terkesan
berbeda dengan Utilitarisme. Jika dalam Utilitarisme menggantungkan moralitas
perbuatan pada konsekuensi, maka dalam Deontologi benar-benar melepaskan sama
sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. Dalam suatu perbuatan pasti ada
konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi
pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan
karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi menekankan perbuatan tidak
dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga
baik. Di sini kita tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat agar sesuatu
yang dihasilkan itu baik (Taufanangriawan, 2011).
Secara umum,
deontologis menganggap sifat
prinsip-prinsip moral sebagai permanen dan stabil, dan mereka percaya bahwa sesuai dengan
prinsip-prinsip etika.
Deontologists percaya bahwa
individu memiliki hak mutlak tertentu:
• Kebebasan hati nurani
• Kebebasan hati nurani
• Kebebasan
persetujuan
• Kebebasan privasi
• Kebebasan berbicara
Karena proces untuk memutuskan apakah perilaku tidak
etis, deontologists mencari kesesuaian dengan moral yang prinsip (Farrel,
2011).
Immanuel Kant (1724-1804) memberikan
salah satu dasar filosofis yang paling penting pada pendekatan deontologi
(Bertens 2000 dalam Satyanugraha 2003). Suatu perilaku atau tindakan baik atau benar
wajib dilakukan, bila tindakan tersebut merupakan tugas, merupakan kewajiban.
Suatu perilaku atau tindakan baik atau benar, bila dilakukan berdasarkan
“imperatif kategoris”. Imperatif kategoris berarti mewajibakan yang tidak
tergantung pada kondisi atau syarat apapun. Kewajiban ini berlaku tanpa syarat.
Deontological
theories either a) have an account of the good which is at least partly
informed by the right, or b) do not define the right as that which maximizes
the good, or both. Deontological theories can differ in a variety of ways both
in substance (that is, how they define the content of the right and the good)
and structure (how they conceive of the relationship between the right and the
good) (Ronzoni 2009):
2a.
Deontological theories of the first kind are all identical in structure (that
is, they are all consequentialist), but can differ in substance in terms of how they define the
content of both the moral and the non-moral component of the good (equal
welfare, happiness according to desert, a minimum amount of pleasure granted to
all, etc.). Telic egalitarianism and Sen’s consequentialism are examples of theories of this kind;
2b.
Deontological theories of the second kind are all non-consequentialist, but can otherwise
differ both in substance and structure:
2b(I). They
can have a non-moral account of the good (with all sorts of different variations
in substance), and an independent account of the right which always takes priority
over the good. For instance, beauty can be conceived as the ultimate good but
its pusuit must always respect people’s rights, defined according to an independent acccount of the
good;
2b(II). They
can have a non-moral account of the good (with all sorts of different variations
in substance), and an independent account of the right whose demands are to be
balanced against those of the good (for instance, a huge increase of aggregate
welfare can override the demands of the right, but smaller increases cannot);
2b(III).
They can have a morally informed account of the good (with all sorts of different
variations in substance), and an independent account of the right which always
takes priority over the good. For instance, equality is intrinsically good because
fair, but equality can only be pursued within the independent constraints
imposed by respect for people’s autonomy and dignity;
2b(IV). They
can have a morally informed account of the good (with all sorts of different
variations in substance), and an independent account of the right whose demands
are to be balanced against those of the good. This is for instance G. A. Cohen’s case, where the demands of
distributive justice can be balanced against other concerns based on stability
or welfare;
2b(V). Finally,
they can be neutral as to what is the true or most valuable account of the
ultimate good, and consequently endorse the priority of the right. This is the
case of justice as fairness. As the scheme hopefully shows, the
teleology/deontology distinction and the concept of the right are still “central dividing points” in normative theorizing.
Moreover, when combined, they offer extremely helpful tools to systematize what
differences and disagreements are at stake within the huge variety of existing
moral theories.
Dari uraian di atas dapat
kita simpulkan bahwa deantologis adalah tindakan yang benar dilakukan karena
merupakan kewajiban bagi seseorang untuk melakukan hal tersebut.
Contoh :
Mencuri
adalah hal yang dilarang.
Berbohong,
walupun untuk tujuan membantu orang lain adalah tidak dibenarkan. Membuat
seseorang celaka.
Teori
deontogi terdiri dari teori hak, teori keadilan, teori perhatian dan teori
keutamaan.
Teori
Hak (Moral Right)
Dalam pemikiran moral dewasa ini
barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk
mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Hak
didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Maka,
teori hak pun cocok diterapkan dengan suasana demokratis. Dalam arti, semua
manusia dari berbagai lapisan kehidupan harus mendapat perlakuan yang sama.
Seperti yang diungkapkan Immanuel Kant, bahwa manusia meruapakan suatu tujuan
pada dirirnya (an end in
itself). Karena itu manusia harus selalu dihormati sebagai suatu
tujuan sendiri dan tidak pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai sarana
demi tercapainya suatu tujuan lain (Bertens, 2000).
Teori
Keadilan (Moral Justice)
Keadilan seperti yang diterapkan dalam etika bisnis
melibatkan evaluasi tentang keadilan atau disposisi untuk menangani ketidakadilan yang dirasakan orang lain.
Keadilan adalah perlakuan yang adil dan imbalan karena di sesuai dengan standar etika atau hukum. Dalam bisnis, ini
berarti bahwa keputusan aturan
yang digunakan oleh seorang individu untuk menentukan keadilan dari sebuah
situasi dapat didasarkan pada hak-hak
individu dan dirasakan pada niat orang-orang yang terlibat dalam suatu interaksi bisnis.
Tiga jenis keadilan menyediakan kerangka kerja untuk
mengevaluasi kewajaran situasi yang berbeda. Keadilan distributif didasarkan
pada hasil evaluasi atau hasil dari hubungan bisnis. Jika beberapa karyawan
merasa bahwa mereka dibayar kurang dari rekan kerja mereka untuk pekerjaan yang sama, maka mereka
memiliki keprihatinan tentang keadilan distributif.
Distributif keadilan sulit untuk berkembang ketika salah
satu anggota dari pertukaran bisnis bermaksud untuk mengambil keuntungan dari hubungan.
Seorang bos yang memaksa karyawannya untuk melakukan lebih banyak pekerjaan sehingga ia dapat mengambil lebih
banyak waktu off akan dilihat sebagai tidak adil karena ia mengambil keuntungan dari posisinya untuk mendistribusikan para
pekerja di bawahnya. Situasi seperti ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam keadilan distributif.
Keadilan prosedural didasarkan pada proses dan hasil
kegiatan yang menghasilkan atau hasil. Evaluasi kinerja yang tidak konsisten dikembangkan
dan diterapkan dapat menyebabkan masalah dengan keadilan prosedural. Sebagai contoh
masalah, karyawan tentang kompensasi yang adil akan berhubungan dengan persepsi mereka bahwa proses
keadilan atau keadilan di perusahaan mereka tidak
konsisten. Sebuah iklim yang menekankan keadilan prosedural diharapkan untuk secara positif mempengaruhi sikap karyawan dan
perilaku terhadap pekerjaan-kohesi kelompok.
Supervisor visibilitas
dan persepsi kelompok kerja sendiri tentang kekompakan adalah produk dari keadilan. Ketika ada dukungan karyawan yang kuat untuk keputusan, pengambil keputusan, organisasi, dan
hasil, keadilan prosedural kurang penting untuk individu. Sebaliknya, ketika dukungan
karyawan untuk keputusan, keputusan pembuat, organisasi, atau hasil yang tidak terlalu kuat, maka keadilan prosedural menjadi lebih penting. Menggunakan metode keadilan prosedural untuk membangun
hubungan positif pemangku kepentingan dengan mempromosikan pemahaman dan
keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan.
Keadilan interaksional didasarkan pada evaluasi proses
komunikasi yang digunakan dalam hubungan bisnis. Karena keadilan interaksional terkait
dengan keadilan dalam komunikasi, sering melibatkan hubungan individu dengan organisasi
bisnis melalui keakuratan
informasi organisasi menyediakan. Karyawan juga dapat bersalah dalam sengketa keadilan interaksional. Secara umum, keadilan
hasil evaluasi dalam pencarianmu restitusi, membangun hubungan, dan evaluasi keadilan dalam hubungan bisnis (Fareel 2011).
Jenis Keadilan
(DeGeorge 1999, dalam Satyanugraha 2003):
1.
Compensatory Justice
Yaitu memberikan
kompensasi pada seseorang untuk ketidakadilan atau kerugian yang dialaminya,
lazimnya dialami dimasa lampau.
2.
Retribitive Justice
Yaitu keadilan
dalam memberikan hukuman pada orang yang melakukan kejahatan atau melanggar
hukum
3.
Procedural Justice
Yaitu istilah
yang digunakan untuk menyatakan prosedur keputusan, praktek atau perjanjian yang
adil
4.
Commutative Justice
Yaitu keadilan
dalam bertransaksi atau pertukaran dan menuntut bahwa pertukaran itu harus sama
nilainya.
5.
Distributive Justice
Yaitu hal
keadilan yang berkaitan dengan distribusi manfaat dan beban, biasanya
menyangkut tindakan pemerintah suatu negara.
Prinsip-prinsip keadilan menurut John
Rawl:
1) Setiap orang mempunyai hak yang sama
atas kebebasan-kebebasan dasar untuk semua orang
2) Ketidaksamaan sosial dan ekonomi
harus diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan bagi tiap orang, dan posisi
dan jabatan terbuka bagi semua orang dengan peluang yang sama.
Keadilan berarti
memberikan pada tiap orang apa yang menjadi haknya. Ada tiga unsur hakki yang
terkandung dalam pengertian keadilan (Bertens, 2000). Pertama, Keadilan selalu
tertuju pada orang lain. Sulit dikatakan orang berlaku adil, atau tidak adil
terhadap diri sendiri. Keadilan atau ketidakadilan hanya terdapat dalam
hubungan antar manusia. Kedua, keadilan merupakan kewajiban, harus
dilaksanakan. Hal ini karena keadilan selalu berkaitan dengan hak orang lain
yang harus dipenuhi. Ketiga, keadilan menuntut persamaan (equality). Atas dasar keadilan kita harus memberikan kepada setiap
orang apa yang menjadi haknya, tanpa pertimbangan apapun lagi, tanpa melihat
siapa orangnya.
Teori
Perhatian (The Ethics of care)
Kita memiliki kewajiban untuk memberikan
perhatian khusus kepada orang-orang yang memiliki hubungan khusus, khususnya
hubungan ketergantungan, berdasarkan pandangan ini maka moral tidak berarti
mengikuti prinsip yang universal dan tidak memihak, akan tetapi seharusnya
memberikan lebih banyak perhatian demi kebaikan orang tertentu dengan siapa
kita memiliki hubungan yang dekat dan bernilai (Valesquez 1998 dalam
Satyanugraha 2003).
Teori
Etika Keutamaan (Virtue Ethics)
Teori ini
memandang karakter moral seseorang. Suatu pendekatan yang tepat untuk etika
seharusnya menggunakan keutamaan orang atau individu (kejujuran, keberanian,
integritas, kepedulian, kesabaran dan pengendalian diri) dan kejelekan orang
atau individu (seperti ketidak jujuran, keserakahan, kekejaman, dan sebagainya)
sebagai awal untuk moral seasoning
(De George 1999 dalam Satyanugraha, 2003). Tujuan dari kehidupan yang bermoral
adalah mengembangkan karakter yang disebut karakter moral dan menerapkannya
dalam berbagai situasi yang dihadapi dalam kehidupan.
Keutamaan yaitu
watak yang telah dimiliki seseorang dan yang memungkinkannya untuk bertingkah
laku baik secara moral (Bertens 2000). Memandang sikap atau akhlak seseorang.
Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah
hati dan sebagainya. Contoh keutamaan :
a.
Kebijaksanaan
b.
Keadilan
c.
Suka
bekerja keras
d.
Hidup
yang baik
Keutamaan moral
haruslah diperoleh melalui usaha, bukan merupakan karakteristik yang diperoleh
dari kelahiran. Teori ini lebih menyoroti segala sesuatu dai segi positif
berbeda dengan teori yang didasarkan atas tindakan, yang pada umumnya cenderung
menilai tindakan dari segi negatif.
Justifikasi: Agama seharusnya membentuk moral
seseorang.
Contoh:
ü Ada atau tidaknya peraturan saya tidak
akan melakukan pemukulan.
ü
3. Relativis Perspektif
Perilaku etis bersifat subyektif dari pengalaman individu dan kelompok. Relativis menggunakan diri sendiri atau orang di sekitar mereka sebagai dasar untuk menentukan standar etika, dan
berbagai bentuk relativisme termasuk
deskriptif, metaethical, atau normative.
Relativisme deskriptif berkaitan dengan mengamati budaya. Kita bisa melihat bahwa budaya yang berbeda
menunjukkan norma yang berbeda, adat istiadat, dan nilai-nilai dan, dengan demikian, sampai pada deskripsi
faktual dari suatu budaya. Relativis Metaethical memahami bahwa orang secara alami
melihat situasi dari perspektif diri mereka sendiri dan berpendapat bahwa, sebagai akibatnya, tidak ada cara
obyektif untuk menyelesaikan sengketa etis antara sistem nilai dan individu. Sederhananya, filsafat
moral yaitu suatu budaya yang tidak bisa logis lebih disukai ke yang lain karena tidak ada dasar
yang berarti untuk perbandingan. Karena aturan etika yang relatif terhadap budaya
tertentu, nilai-nilai dan perilaku orang dalam satu budaya tidak mempengaruhi perilaku
orang-orang di budaya negara lain.
Misalnya:
ü cara berpakaian tiap budaya berbeda
ü Ketika jalan di
jalan raya di indonesia di kiri sedangkan budaya luar di kanan.
Kelemahan dari teori ini yaitu banyak
orang mengatakan salah dalam pandangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Penerbit:
Kanisius
Ferrel, Fraedric, Ferrel. 2011.
Busines Ethict: Etical Busines and cases,
Eight Editions. Australia: South-Western.
Ronzoni, Miriam. 2009. Teleology, Deontology, and the Priority of
the Right:On Some Unappreciated Distinctions. Springer Science+ Business Media B. p
453-472
Satyanugraha, Heru. 2003. Etika Bisnis Prinsip dan Aplikasi.
Jakarta: LPFE.
http://ruhullah.wordpress.com/2008/07/25/sistem-filsafat-moral-ringkasan/
http://taufananggriawan.wordpress.com/2011/10/10/a-etika-teleologi-b-deontologi-c-teori-hak-d-teori-keutamaan-virtue/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar