Rabu, 18 Juni 2014

Etika Bisnis

MATA KULIAH
ETIKA BISNIS



Dosen : Dr. Srihadi W. Zarkasyi, SE, Ak, MSi


Di susun oleh :
Anjelita
120620120505




MAGISTER AKUNTANSI – KEMENPU
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2013

Moral Filsafat Perspektif terdiri dari:
  1. Teleologis
  2. Deontologis
  3. Relativis Perspektif
  4. Etika Moralitas
  5. Keadilan Perpektif

1.      Teleologis
Ferrel dalam busines ethich, 2011 mengatakan bahwa “Teleology (from the Greek word for “end” or “purpose”) refers to moral philosophies in which an act is considered morally right or acceptable if it produces some desired result such as pleasure, knowledge, career growth, the realization of self-interest, utility, wealth, or even fame. In other words, teleological philosophies assess the moral worth of a behavior by looking at its consequences, and thus moral philosophers today often refer to these theories as consequentialism. Two important teleological philosophies that often guide decision making in individual business decisions are egoism and utilitarianism.”
Dalam bahasa indonesia dapat kita artikan “Teleologi (dari kata Yunani untuk "akhir" atau "tujuan") mengacu pada filsafat moral dalam tindakan yang dianggap secara moral benar atau diterima jika itu menghasilkan beberapa hasil yang diinginkan seperti kesenangan, pengetahuan, pertumbuhan karir, realisasi kepentingan pribadi, kekayaan utilitas, atau bahkan ketenaran. Dengan kata lain, filsafat teleologis menilai nilai moral perilaku dengan melihat konsekuensinya, dan dengan demikian filsuf moral saat ini sering merujuk teori sebagai konsekuensialisme”.
Teleological theories have an account of the good which is fully independent from the right, and a fully dependent theory of the right (as that which maximizes the good). All teleological theories are identical in structure, although they may differ in substance according to how they define the content of the good (as utility, happiness, pleasure, excellence, beauty, etc). Utilitarianism, hedonism, eudaimonism, as well as forms of perfectionsim which value non-moral forms of human excellence are all teleological theories (Rawls 1999, p. 22 dalam Ronzoni);
Dua teleologis filsafat yang sering membimbing pengambilan keputusan dalam keputusan bisnis individu yaitu egoisme dan utilitarianisme.
Egoisme mendefinisikan perilaku yang benar atau dapat diterima dalam hal konsekuensinya bagi individu. Egois percaya bahwa mereka harus membuat keputusan yang memaksimalkan kepentingan pribadi mereka sendiri, yang didefinisikan secara berbeda oleh masing-masing individu. Tergantung pada egois ini, kepentingan diri sendiri mungkin diartikan sebagai kesejahteraan fisik, kesenangan listrik, ketenaran, karir yang memuaskan, kehidupan keluarga yang baik, kekayaan, atau sesuatu yang lain. Dalam situasi pengambilan keputusan etis, egois mungkin akan memilih alternatif yang memberikan kontribusi paling banyak untuk kepentingan pribadi (Ferrel 2011).
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar.
Sedangkan Utilitarianisme berasal dari kata “utilis” yang berati manfaat. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja  satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan.
Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Benthan (1748-1832 M), serta dilengkapi oleh John Stuart Mill (1806-1873). Permasalahan yang dihadapi pada waktu itu adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijakan publik, yaitu kebijakan yang berdampak besar bagi kepentingan banyak orang (Satyanugraha, 2003 hal 43).
Jeremy Bentham (1748-1832 M) dalam Ruhullah berpendapat, manusia berada pada dua “penguasa”: ketidaksenangan dan kesenangan. Manusia cenderung menjauhi ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan adalah memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dinilai baik jika dapat meningkatkan kebahagiaan sebanyak mungkin orang.  Inilah the principle of utility (prinsip kegunaaan), yakni the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Karena itu, penetapan kegunaaan pun harus melalui kuantifikasi. Bentham mengembangkan the hedonistic number.
John Stuart Milll (1806-1873).  Mill mengkritik Bentham. Menurutnya, kebahagiaaan/kesenangan perlu mempertimbangakn sisi kualitasnya juga. Baginya, ada kesenangan yang bermutu rendah dan ada yang bermutu tingi. Seperti kesenangan Sokrates lebih bermutu dibandingkan kesenangan orang tolol. Lalu, kesenangan pun bisa diukur secara empiris melalui orang bijak dan berpengalaman dalam hal ini. Prinsip Mill yang patut dicatat adalah bahwa suatu perbutan dinilai baik jika lebahagiaan melebihi ketidakbahagiaaan, dimana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama.
Dalam bukunya Ferrel mengatakan utilitarianisme berkaitan dengan konsekuensi, tetapi utilitarian mencari kebaikan terbesar untuk semua orang. Utilitarian percaya bahwa mereka harus membuat keputusan yang menghasilkan utilitas total terbesar, yang mencapai manfaat terbesar untuk semua mereka yang terkena dampak keputusan.
Dari uraian dia atas dapat kita simpulkan bahwa utilitarianisme adalah suatu doktrin moral yang berpendapat bahwa kita seharusnya bertindak untuk menghasilkan sebanyak mungkin manfaat untuk semua orang. Saat kita bertingkah laku kita perlu bertanya pada diri sendiri apakah konsekuensinya untuk kita maupun orang lain. Jika bermanfaat maka tindakan tersebut dianggap benar.
Contoh:     Kita mengetahui bahwa rokok menjadi sponsor dari banyak cabang pada bidang olah raga, dan juga sponsor dalam bidang pengembangan perpustakaan di Indonesia. Industri rokok “menolong” kemajuan olahraga dan pengetahuan dengan menggelontorkan dana sebanyak-banyaknya, namun berpengharapan para pecinta olahraga dan pengguna perpustakaan menjadi perokok aktif maupun pasif. Jelas, menolong yang dilakukan adalah berdasarkan keterpautan kepentingan diri sendiri.
2.      Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata  Yunani ‘deon’ yang berarti kewajiban. Dalam pemahaman teori Deontologi memang terkesan berbeda dengan Utilitarisme. Jika dalam Utilitarisme menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensi, maka dalam Deontologi benar-benar melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. Dalam suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu baik (Taufanangriawan, 2011).
Secara umum, deontologis menganggap sifat prinsip-prinsip moral sebagai permanen dan stabil, dan mereka percaya bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip etika. Deontologists percaya bahwa individu memiliki hak mutlak tertentu:
• Kebebasan hati nurani
• Kebebasan persetujuan
• Kebebasan privasi
• Kebebasan berbicara
Karena proces untuk memutuskan apakah perilaku tidak etis, deontologists mencari kesesuaian dengan moral yang prinsip (Farrel, 2011).
Immanuel Kant (1724-1804) memberikan salah satu dasar filosofis yang paling penting pada pendekatan deontologi (Bertens 2000 dalam Satyanugraha 2003). Suatu perilaku atau tindakan baik atau benar wajib dilakukan, bila tindakan tersebut merupakan tugas, merupakan kewajiban. Suatu perilaku atau tindakan baik atau benar, bila dilakukan berdasarkan “imperatif kategoris”. Imperatif kategoris berarti mewajibakan yang tidak tergantung pada kondisi atau syarat apapun. Kewajiban ini berlaku tanpa syarat.
Deontological theories either a) have an account of the good which is at least partly informed by the right, or b) do not define the right as that which maximizes the good, or both. Deontological theories can differ in a variety of ways both in substance (that is, how they define the content of the right and the good) and structure (how they conceive of the relationship between the right and the good) (Ronzoni 2009):
2a. Deontological theories of the first kind are all identical in structure (that is, they are all consequentialist), but can differ in substance in terms of how they define the content of both the moral and the non-moral component of the good (equal welfare, happiness according to desert, a minimum amount of pleasure granted to all, etc.). Telic egalitarianism and Sens consequentialism are examples of theories of this kind;
2b. Deontological theories of the second kind are all non-consequentialist, but can otherwise differ both in substance and structure:
2b(I). They can have a non-moral account of the good (with all sorts of different variations in substance), and an independent account of the right which always takes priority over the good. For instance, beauty can be conceived as the ultimate good but its pusuit must always respect peoples rights, defined according to an independent acccount of the good;
2b(II). They can have a non-moral account of the good (with all sorts of different variations in substance), and an independent account of the right whose demands are to be balanced against those of the good (for instance, a huge increase of aggregate welfare can override the demands of the right, but smaller increases cannot);
2b(III). They can have a morally informed account of the good (with all sorts of different variations in substance), and an independent account of the right which always takes priority over the good. For instance, equality is intrinsically good because fair, but equality can only be pursued within the independent constraints imposed by respect for peoples autonomy and dignity;
2b(IV). They can have a morally informed account of the good (with all sorts of different variations in substance), and an independent account of the right whose demands are to be balanced against those of the good. This is for instance G. A. Cohens case, where the demands of distributive justice can be balanced against other concerns based on stability or welfare;
2b(V). Finally, they can be neutral as to what is the true or most valuable account of the ultimate good, and consequently endorse the priority of the right. This is the case of justice as fairness. As the scheme hopefully shows, the teleology/deontology distinction and the concept of the right are still central dividing pointsin normative theorizing. Moreover, when combined, they offer extremely helpful tools to systematize what differences and disagreements are at stake within the huge variety of existing moral theories.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa deantologis adalah tindakan yang benar dilakukan karena merupakan kewajiban bagi seseorang untuk melakukan hal tersebut.
Contoh :
Mencuri adalah hal yang dilarang.
Berbohong, walupun untuk tujuan membantu orang lain adalah tidak dibenarkan. Membuat seseorang celaka.
Teori deontogi terdiri dari teori hak, teori keadilan, teori perhatian dan teori keutamaan.  
Teori Hak (Moral Right)
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi  baik buruknya  suatu perbuatan atau perilaku. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Maka, teori hak pun cocok diterapkan dengan suasana demokratis. Dalam arti, semua manusia dari berbagai lapisan kehidupan harus mendapat perlakuan yang sama. Seperti yang diungkapkan Immanuel Kant, bahwa manusia meruapakan suatu tujuan pada dirirnya (an end in itself). Karena itu manusia harus selalu dihormati sebagai suatu tujuan sendiri dan tidak pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai sarana demi tercapainya suatu tujuan lain (Bertens, 2000).

Teori Keadilan (Moral Justice)
Keadilan seperti yang diterapkan dalam etika bisnis melibatkan evaluasi tentang keadilan atau disposisi untuk menangani ketidakadilan yang dirasakan orang lain. Keadilan adalah perlakuan yang adil dan imbalan karena di sesuai dengan standar etika atau hukum. Dalam bisnis, ini berarti bahwa keputusan aturan yang digunakan oleh seorang individu untuk menentukan keadilan dari sebuah situasi dapat didasarkan pada hak-hak individu dan dirasakan pada niat orang-orang yang terlibat dalam suatu interaksi bisnis.
Tiga jenis keadilan menyediakan kerangka kerja untuk mengevaluasi kewajaran situasi yang berbeda. Keadilan distributif didasarkan pada hasil evaluasi atau hasil dari hubungan bisnis. Jika beberapa karyawan merasa bahwa mereka dibayar kurang dari rekan kerja mereka untuk pekerjaan yang sama, maka mereka memiliki keprihatinan tentang keadilan distributif.
Distributif keadilan sulit untuk berkembang ketika salah satu anggota dari pertukaran bisnis bermaksud untuk mengambil keuntungan dari hubungan. Seorang bos yang memaksa karyawannya untuk melakukan lebih banyak pekerjaan sehingga ia dapat mengambil lebih banyak waktu off akan dilihat sebagai tidak adil karena ia mengambil keuntungan dari posisinya untuk mendistribusikan para pekerja di bawahnya. Situasi seperti ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam keadilan distributif.
Keadilan prosedural didasarkan pada proses dan hasil kegiatan yang menghasilkan atau hasil. Evaluasi kinerja yang tidak konsisten dikembangkan dan diterapkan dapat menyebabkan masalah dengan keadilan prosedural. Sebagai contoh masalah, karyawan tentang kompensasi yang adil akan berhubungan dengan persepsi mereka bahwa proses keadilan atau keadilan di perusahaan mereka tidak konsisten. Sebuah iklim yang menekankan keadilan prosedural diharapkan untuk secara positif mempengaruhi sikap karyawan dan perilaku terhadap pekerjaan-kohesi kelompok.
Supervisor visibilitas dan persepsi kelompok kerja sendiri tentang kekompakan adalah produk dari keadilan. Ketika ada dukungan karyawan yang kuat untuk keputusan, pengambil keputusan, organisasi, dan hasil, keadilan prosedural kurang penting untuk individu. Sebaliknya, ketika dukungan karyawan untuk keputusan, keputusan pembuat, organisasi, atau hasil yang tidak terlalu kuat, maka keadilan prosedural menjadi lebih penting. Menggunakan metode keadilan prosedural untuk membangun hubungan positif pemangku kepentingan dengan mempromosikan pemahaman dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan.
Keadilan interaksional didasarkan pada evaluasi proses komunikasi yang digunakan dalam hubungan bisnis. Karena keadilan interaksional terkait dengan keadilan dalam komunikasi, sering melibatkan hubungan individu dengan organisasi bisnis melalui keakuratan informasi organisasi menyediakan. Karyawan juga dapat bersalah dalam sengketa keadilan interaksional. Secara umum, keadilan hasil evaluasi dalam pencarianmu restitusi, membangun hubungan, dan evaluasi keadilan dalam hubungan bisnis (Fareel 2011).
Jenis Keadilan (DeGeorge 1999, dalam Satyanugraha 2003):
1.      Compensatory Justice
Yaitu memberikan kompensasi pada seseorang untuk ketidakadilan atau kerugian yang dialaminya, lazimnya dialami dimasa lampau.
2.      Retribitive Justice
Yaitu keadilan dalam memberikan hukuman pada orang yang melakukan kejahatan atau melanggar hukum
3.      Procedural Justice
Yaitu istilah yang digunakan untuk menyatakan prosedur keputusan, praktek atau perjanjian yang adil
4.      Commutative Justice
Yaitu keadilan dalam bertransaksi atau pertukaran dan menuntut bahwa pertukaran itu harus sama nilainya.
5.      Distributive Justice
Yaitu hal keadilan yang berkaitan dengan distribusi manfaat dan beban, biasanya menyangkut tindakan pemerintah suatu negara.
Prinsip-prinsip keadilan menurut John Rawl:
1)     Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar untuk semua orang
2)     Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan bagi tiap orang, dan posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang dengan peluang yang sama.
Keadilan berarti memberikan pada tiap orang apa yang menjadi haknya. Ada tiga unsur hakki yang terkandung dalam pengertian keadilan (Bertens, 2000). Pertama, Keadilan selalu tertuju pada orang lain. Sulit dikatakan orang berlaku adil, atau tidak adil terhadap diri sendiri. Keadilan atau ketidakadilan hanya terdapat dalam hubungan antar manusia. Kedua, keadilan merupakan kewajiban, harus dilaksanakan. Hal ini karena keadilan selalu berkaitan dengan hak orang lain yang harus dipenuhi. Ketiga, keadilan menuntut persamaan (equality). Atas dasar keadilan kita harus memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, tanpa pertimbangan apapun lagi, tanpa melihat siapa orangnya.

Teori Perhatian (The Ethics of care)
Kita memiliki kewajiban untuk memberikan perhatian khusus kepada orang-orang yang memiliki hubungan khusus, khususnya hubungan ketergantungan, berdasarkan pandangan ini maka moral tidak berarti mengikuti prinsip yang universal dan tidak memihak, akan tetapi seharusnya memberikan lebih banyak perhatian demi kebaikan orang tertentu dengan siapa kita memiliki hubungan yang dekat dan bernilai (Valesquez 1998 dalam Satyanugraha 2003).

Teori Etika Keutamaan (Virtue Ethics)
Teori ini memandang karakter moral seseorang. Suatu pendekatan yang tepat untuk etika seharusnya menggunakan keutamaan orang atau individu (kejujuran, keberanian, integritas, kepedulian, kesabaran dan pengendalian diri) dan kejelekan orang atau individu (seperti ketidak jujuran, keserakahan, kekejaman, dan sebagainya) sebagai awal untuk moral seasoning (De George 1999 dalam Satyanugraha, 2003). Tujuan dari kehidupan yang bermoral adalah mengembangkan karakter yang disebut karakter moral dan menerapkannya dalam berbagai situasi yang dihadapi dalam kehidupan.
Keutamaan yaitu watak yang telah dimiliki seseorang dan yang memungkinkannya untuk bertingkah laku baik secara moral (Bertens 2000). Memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya. Contoh keutamaan :
a.       Kebijaksanaan
b.      Keadilan
c.       Suka bekerja keras
d.      Hidup yang baik
Keutamaan moral haruslah diperoleh melalui usaha, bukan merupakan karakteristik yang diperoleh dari kelahiran. Teori ini lebih menyoroti segala sesuatu dai segi positif berbeda dengan teori yang didasarkan atas tindakan, yang pada umumnya cenderung menilai tindakan dari segi negatif.
Justifikasi: Agama seharusnya membentuk moral seseorang.
Contoh:
ü  Ada atau tidaknya peraturan saya tidak akan melakukan pemukulan.
ü   

3.      Relativis Perspektif
Perilaku etis bersifat subyektif dari pengalaman individu dan kelompok. Relativis menggunakan diri sendiri atau orang di sekitar mereka sebagai dasar untuk menentukan standar etika, dan berbagai bentuk relativisme termasuk deskriptif, metaethical, atau normative.
Relativisme deskriptif berkaitan dengan mengamati budaya. Kita bisa melihat bahwa budaya yang berbeda menunjukkan norma yang berbeda, adat istiadat, dan nilai-nilai dan, dengan demikian, sampai pada deskripsi faktual dari suatu budaya. Relativis Metaethical memahami bahwa orang secara alami melihat situasi dari perspektif diri mereka sendiri dan berpendapat bahwa, sebagai akibatnya, tidak ada cara obyektif untuk menyelesaikan sengketa etis antara sistem nilai dan individu. Sederhananya, filsafat moral yaitu suatu budaya yang tidak bisa logis lebih disukai ke yang lain karena tidak ada dasar yang berarti untuk perbandingan. Karena aturan etika yang relatif terhadap budaya tertentu, nilai-nilai dan perilaku orang dalam satu budaya tidak mempengaruhi perilaku orang-orang di budaya negara lain.
Misalnya:
ü  cara berpakaian tiap budaya berbeda
ü  Ketika jalan di jalan raya di indonesia di kiri sedangkan budaya luar di kanan.
Kelemahan dari teori ini yaitu banyak orang mengatakan salah dalam pandangannya.




DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Penerbit: Kanisius
Ferrel, Fraedric, Ferrel. 2011. Busines Ethict: Etical Busines and cases, Eight Editions. Australia: South-Western.
Ronzoni, Miriam. 2009. Teleology, Deontology, and the Priority of the Right:On Some Unappreciated Distinctions. Springer Science+ Business Media B. p 453-472
Satyanugraha, Heru. 2003. Etika Bisnis Prinsip dan Aplikasi. Jakarta: LPFE.
http://ruhullah.wordpress.com/2008/07/25/sistem-filsafat-moral-ringkasan/
http://taufananggriawan.wordpress.com/2011/10/10/a-etika-teleologi-b-deontologi-c-teori-hak-d-teori-keutamaan-virtue/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar