Rabu, 18 Juni 2014

PROPOSAL PENGARUH KEADILAN ORGANISASI, KUALITAS PENGENDALIAN INTERNAL, DAN MORALITAS INDIVIDU TERHADAP KECENDERUNGAN KECURANGAN PEGAWAI (FRAUD)



PROPOSAL
PENGARUH KEADILAN ORGANISASI, KUALITAS PENGENDALIAN INTERNAL, DAN MORALITAS INDIVIDU  TERHADAP KECENDERUNGAN KECURANGAN PEGAWAI (FRAUD)


DOSEN
Dr. Tettet Fitrijanti, SE., M.Si., Ak

Oleh :
Anjelita (120620120505)
No. Absen: 5








FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014

PENGARUH KEADILAN ORGANISASI, KUALITAS PENGENDALIAN INTERNAL, DAN MORALITAS INDIVIDU  TERHADAP KECENDERUNGAN KECURANGAN PEGAWAI (FRAUD)
STUDI KASUS PADA PUSAT LITBANG SUMBER DAYA AIR, BADAN LITBANG KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM


BAB I
PENDAHULUAN

Jenis fraud (kecurangan) yang terjadi di setiap negara berbeda - berbeda, hal ini karena praktek fraud sangat dipengaruhi oleh kondisi hukum di negara yang bersangkutan. Di negara maju dimana penegakan hukum sudah berjalan dengan baik dan kondisi ekonomi masyarakat secara umum sudah cukup baik maka praktek fraud lebih sedikit bentuknya.
Di Indonesia sejak masa reformasi, tuntutan akan trasparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan keuangan publik semakin kuat. Hal ini disebabkan karena sebelum adanya reformasi pemerintahan Indonesia cenderung bersifat sentralisasi. Untuk itu pemerintah pusat menyiapkan berbagai macam perangkat aturan (regulasi), memperkuat struktur kelembagaan dibidang pengawasan keuangan, penanganan korupsi dan langkah-langkah lainnya.
Ada berbagai macam bentuk fraud yang terjadi pada organisasi sektor publik di Indonesia. Salah satunya adalah korupsi. Kasus korupsi di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Begitu juga dalam upaya pemberantasannya yang belum optimal serta pemberian efek jera. Seperti yang kita ketahui bersama penegakan hukum di Indonesia selalu saja melibatkan permainan uang dan pengaruh kekuasaan. Perilaku korupsi menjalar ke berbagai sendi dalam pemerintahan dan menjadi berbagai konspirasi dari berbagai instansi.  Misalnya saja pada kasus hambalang, kasus impor daging sapi, kasus korupsi oleh anggota DPR (Angelina Sondah), kasus bank century, kasus tender ulang pembangunan jalan Sosok - Tayan dan jalur Simpang Tanjung – Sanggau, kasus Korupsi Proyek Pengadaan Light Trap Kementerian Pertanian dan banyak lagi.
Albrecht (2004) menyatakan bahwa faktor integritas personal dalam fraud scale mengacu kepada kode etik personal yang dimiliki oleh tiap individu. Beberapa penelitian di bidang etika menggunakan teori perkembangan moral untuk mengobservasi dasar individu melakukan suatu tindakan. Salah satu yang sering digunakan adalah teori mengenai level penalaran moral Kohlberg. Mengetahui level penalaran moral seseorang akan menjadi dasar  untuk mengetahui kecenderungan individu melakukan suatu tindakan tertentu, terutama yang berkaitan dengan dilema etika, berdasarkan level penalaran moralnya. Bernardi (1994) dan Ponemon (1993) dalam Moroney (2008) menemukan bahwa semakin tinggi level moral individu akan semakin sensitif terhadap isu-isu etika.
Seperti halnya menangani penyakit, lebih baik mencegah daripada mengobatinya. Para ahli memperkirakan bahwa  fraud yang terungkap merupakan bagian kecil dari seluruh  fraud yang sebenarnya terjadi. Karena itu, upaya utama seharusnya adalah pada pencegahannya.
Sistem pengendalian manajemen lebih mengutamakan pengendalian internal yang biasanya lebih dipandang sebagai kunci dalam mencegah kecurangan. Sesuai dengan Committee of sponsoring Organizations (COSO,2004) pengendalian internal adalah :
“... a process, effected by an entity’s board of directors, management and other personnel,designed to provide reasonable assurance regarding the achievement of objectives in (1) the effectiveness  and efficiency of operations, (2) the reliability of financial reporting, and (3) the compliance of applicable laws and regulations.”
Jadi, sistem pengendalian internal secara potensial akan mencegah kesalahan-kesalahan dan kecurangan melalui pengawasan dan meningkatkan proses pelaporan keuangan dan organisational akan sama baiknya menjamin pemenuhan yang bersangkutan dengan hukum dan regulasi.
Keadilan organisasi  (organizational justice)  merupakan istilah untuk mendeskripsikan kesamarataan atau keadilan di tempat kerja, yang  berfokus bagaimana para karyawan menyimpulkan apakah mereka telah diperlakukan secara adil dalam  lingkungan  pekerjaan  dan bagaimana kesimpulan tersebut kemudian mempengaruhi variabel-variabel lain yang berhubungan dengan pekerjaan (Moorman, 1991) dalam Mariani (2011).  Keadilan organisasi  menekankan bagaimana  reward, insentif, pengakuan, pekerjaan, dan sanksi dalam suatu lembaga (organisasi) dialokasikan secara adil dan proporsional. Ketika keadilan organisational dirasa rendah mengakibatkan ketidakpuasan, kebencian, dan kemarahan melawan organisasi. Hal inilah yang mendorong seseorang untuk berbuat menyimpang dan berakibat langsung pada organisasi (seperti kelambanan, ketidakhadiran, pencurian dan perusakan). Menurut Lawler (1991) dalam Suhartini (2005) bahwa  ketika seseorang mendapat perlakuan yang tidak adil maka akan menimbulkan kecemburuan antar karyawan dan mereka akan  melakukan perlawanan protes  atau  membalasnya dengan berdusta dan melakukan kecurangan.
Banyaknya kecenderungan Fraud (korupsi pada lembaga pemerintahan) maka penulis mencoba meneliti “Pengaruh Keadilan Organisasi, Kualitas Pengendalian Internal, Dan Moralitas Individu  Terhadap Kecenderungan Kecurangan Pegawai (Fraud) Studi Kasus Pada Pusat Litbang Sumber Daya Air, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum”.



Rumusan masalah:
1.      Apakah Keadilan Organisasi berpengaruh  Terhadap Kecenderungan Kecurangan Pegawai (Fraud) pada Pusat Litbang Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum?
2.      Apakah pengendalian internal berpengaruh terhadap kecurangan pada Pusat Litbang Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum?
3.      Apakah moralitas individu berpengaruh terhadap kecurangan pada Pusat Litbang Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum?





Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui apakah Keadilan Organisasi berpengaruh  Terhadap Kecenderungan Kecurangan Pegawai (Fraud) pada Pusat Litbang Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum.
2.      Mengetahui apakah pengendalian internal berpengaruh terhadap kecurangan pada Pusat Litbang Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum.
3.      Mengetahui apakah moralitas individu berpengaruh terhadap kecurangan pada Pusat Litbang Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum.

Manfaat Penelitian
1.      Bagi Penulis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan tambahan pengetahuan mengenai Pengaruh Keadilan Organisasi, Kualitas Pengendalian Internal, Dan Moralitas Individu  Terhadap Kecenderungan Kecurangan Pegawai (Fraud) pada instansi pemerintahan.
2.      Bagi Dunia Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi sebagai bahan kajian yang dapat berguna bagi penelitian selanjutnya. Selain itu dapat memberikan gambaran mengenai Pengaruh Keadilan Organisasi, Kualitas Pengendalian Internal, dan Moralitas Individu  Terhadap Kecenderungan Kecurangan Pegawai (Fraud) pada instansi pemerintahan.
3.      Bagi Perusahaan/ Instansi Bersangkutan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau saran kepada perusahaan untuk meningkatkan proses dan tata kelola Manajemen Resiko, Kualitas Pengendalian Internal dan Moralitas Individu yang ada di dalam Perusahaan/ Instansi bersangkutan serta menjadi informasi tambahan dalam menyusun strategi.

Metodologi Penelitian
1.      Penelitian Kepustakaan
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh landasan teoritis dan pedoman literatur dalam pembahasan masalah dengan melakukan penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari data dari sumber-sumber berupa buku, jurnal, karya akhir, tesis, disertasi, catatan atau laporan tertulis dari Pusat Litbang Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum serta peraturan-peraturan yang berlaku pada topik pembahasan.
2.      Penelitian lapangan
Penelitian ini dilakukan secara langsung pada Pusat Litbang Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum untuk mendapatkan data yang dibutuhkan melalui onservasi, dan wawancara langsung dengan sekretariat Sistem Manajemen Mutu dan bagian lainnya yang terkait.

Keterbatasan Penelitian
  1. Informasi-informasi pendukung yang digunakan dalam analisis diperoleh dengan metode wawancara dan pihak-pihak yang terkait langsung dengan penelitian.
  2. Dalam melakukan wawancara terkadang proses wawancara terganggu kondisi sekitar
  3. Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan teori-teori dan ketemtuan yang berlaku terhadap penerapan yang ada di perusahaan berdasarkan laporan dan sumber internal perusahaan/ instansi.

Sistematika penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini dikemukakan tentang informasi secara keseluruhan dari penelitian ini, yang meliputi latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, lokasi penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini mengemukakan tentang teori – teori yang dijadikan dasar pembahasan dan penganalisaan masalah, serta beberapa definisi dari studi pustaka yang berhubungan dengan penelitian ini
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini dikemukakan pendekatan dari teori kemudian diuraikan menjadi suatu usulan pemecahan masalah yang berbentuk langkah – langkah pemecahannya.
BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI
Dalam bab ini menguraikan dan memberikan gambaran tentang wilayah studi penelitian yang berupa data sekunder dan data dukung lainnya.
BAB V PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Dalam bab ini menguraikan prosedur kerja di lapangan dalam rangka pengumpulan data sekunder, penentuan  sampel, serta pengolahan data dengan menggunakan model – model yang telah dipilih
BAB VI ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini dikemukakan mengenai kajian atas hasil dari pengolahan data pada informasi yang diperoleh serta hasil analisis dari pengolahan data yang dimaksud
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini mengemukakan kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian berdasarkan Analisis yang dilakukan pada bab sebelumnya dan memberikan usulan rekomendasi

KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh antara persepsi keadilan organisasional, kualitas pengendalian internal, dan moralitas individu terhadap timbulnya kecurangan pegawai. Untuk mengukur variabel   (persepsi keadilan organisasional) digunakan 11 indikator, yaitu : kesesuaian upah diterima, kesesuaian bonus atau tunjangan yang diterima, beban kerja, tanggung jawab, bias manajemen, kesesuaian pekerjaan, klarifikasi manajemen, respon perbaikan manajemen, kekonsistenan manajemen, keterwakilan pekerja, dan etis manajemen. Sementara untuk mengukur variabel   (kualitas pengendalian internal) menggunakan tiga faktor organisasional, yaitu : aktivitas internal audit, lingkungan etis organisasi, dan penilaian resiko. Untuk mengukur variabel (moralitas) digunakan dua indikator yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik.  Untuk variabel y (timbulnya kecurangan pegawai) digunakan 3 variabel: kecurangan laporan keuangan, penyalahgunaan asset, dan korupsi. Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.






INDIKATOR

X1:
1         Kesesuaian upah diterima,
2         Kesesuaian bonus atau tunjangan yang diterima,
3         Beban kerja,
4         Tanggung jawab,
5         Bias manajemen,
6         Kesesuaian pekerjaan,
7         Klarifikasi manajemen,
8         Respon perbaikan manajemen,
9         Kekonsistenan manajemen,
10     Keterwakilan pekerja
11    Etis manajemen

X2:
1         Aktivitas internal audit,
2         Lingkungan etis organisasi,
3         Penilaian resiko.
X3:
1         Motivasi ekstrinsik
2         Motivasi intrinsik


Y:
Korupsi.

 

 
































Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian


HIPOTESIS

Berdasarkan rumusan masalah penelitian dan teori yang mendasari, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H1: Keadilan organisasi berpengaruh signifikan negatif terhadap kecurangan
H2: Kualitas pengendalian internal berpengaruh signifikan negatif terhadap kecurangan
H3: Moralitas individu berpengaruh signifikan negatif terhadap kecurangan
BAB II
LITERATURE REVIEW

1.     Fraud (Kecurangan)
Definisi Fraud menurut Black Law Dictionary dalam Prasetyo et al. (Peak Indonesia, 2003), fraud didefinisikan sebagai: adalah:
 A knowing misrepresentation of the truth or concealment of a material fact to induce another to act to his or her detriment;  is usual a tort, but in some cases (esp. when the conduct is willful) it may be a crime, 2.  A misrepresentation made recklessly without belief inits truth to induce another person to act, 3.  A tort arising from knowing misrepresentation, concealment of material fact, or reckless misrepresentation made to induce another to act to his or her detriment.
Bila diterjemahkan (tidak resmi), kecurangan adalah:
1.      Kesengajaan atas salah pernyataan terhadap suatu kebenaran atau keadaan yang disembunyikan dari sebuah fakta material yang dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan atau tindakan yang merugikannya, biasanya merupakan kesalahan namun dalam beberapa kasus (khususnya dilakukan secara disengaja) memungkinkan merupakan suatu kejahatan;
2.      Penyajian yang salah/keliru (salah pernyataan) yang secara ceroboh/tanpa perhitungan dan tanpa dapat dipercaya kebenarannya berakibat dapat mempengaruhi atau menyebabkan orang lain bertindak atau berbuat;
3.      Suatu kerugian yang timbul sebagai akibat diketahui keterangan atau penyajian yang salah (salah pernyataan), penyembunyian fakta material, atau penyajian yang ceroboh/tanpa perhitungan yang mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau bertindak yang merugikannya.
Ada pula yang mendefinisikan  fraud  sebagai suatu tindak kesengajaan untuk menggunakan sumber daya perusahaan secara tidak wajar dan salah menyajikan fakta untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dalam bahasa yang lebih sederhana,  fraud  adalah penipuan yang disengaja. Hal ini termasuk berbohong, menipu, menggelapkan dan mencuri. Yang dimaksud dengan penggelapan disini adalah merubah aset/kekayaan perusahaan yang dipercayakan kepadanya secara tidak wajar untuk kepentingan dirinya. Dengan demikian, perbuatan yang dilakukannya adalah untuk menyembunyikan, menutupi atau dengan cara tidak jujur lainnya melibatkan atau meniadakan suatu perbuatan atau membuat pernyataan yang salah dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dibidang keuangan atau keuntungan lainnya atau meniadakan suatu kewajiban bagi dirinya dan mengabaikan hak orang lain.

Klasifikasi Fraud (Kecurangan)
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)  atau Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi profesional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan mempunyai tujuan untuk memberantas kecurangan, mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “Fraud Tree” yaitu Sistem Klasifikasi Mengenai Hal-hal yang Ditimbulkan Sama Oleh Kecurangan  (Uniform Occupational Fraud Classification System).  The ACFE membagi  Fraud  (Kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi berdasarkan perbuatan yaitu:
1        Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation);
Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk  fraud  yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).
2        Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement);
Fraudulent statement  meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa  keuangan  (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.
3        Korupsi (Corruption).
Jenis  fraud  ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang  penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan.  Fraud  jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).

Sedangkan tipe kecurangan menurut Albrecht .W.Steve ( Fraud Examination ) dalam Amrizal:2004
Menurut Arens (2008:432),  kondisi penyebab kecurangan disebut  segitiga kecurangan (Fraud Triagle), yaitu:
a.       Insentif/tekanan  (pressure), seperti masalah keuangan, sifat buruk (penjudi, pecandu narkoba, konsumtif), lingkungan pekerjaan (kondisi kerja yang buruk, diperlakukan tidak adil dalam pekerjaan) dan lingkungan keluarga.
b.       Kesempatan (opportunity), seperti sistem pengendalian internal yang lemah, tidak mampu menilai kualitas kerja karena tidak punya alat atau kriteria pengukurannya, atau gagal mendisiplinkan atau memberikan sanksi pada pelaku fraud.
c.        Sikap/rasionalisasi  (rationalize). Seperti mencontoh atasan atau teman sekerja, merasa sudah berbuat banyak kepada perusahaan, menganggap bahwa yang diambil tidak seberapa dan hanya sekadar meminjam, pada waktunya akan dikembalikan.

Faktor Pemicu Fraud (Kecurangan)
Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, yang disebut juga dengan teori GONE, yaitu (Simanjuntak, 2008):
1.  Greed (keserakahan)
2.  Opportunity (kesempatan)
3.  Need (kebutuhan)
4.  Exposure (pengungkapan)
Faktor  Greed  dan  Need  merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku kecurangan (disebut juga faktor individual). Sedangkan faktor Opportunity dan Exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan (disebut juga faktor generik/umum).
Dennis Greer menyebut tiga elemen kunci yang disebut sebagai segitiga fraud  (fraud triangle) yang mendorong seseorang atau sekelompok orang melakukan fraud. Ketiga elemen tersebut adalah (STAN,2007):
1. Adanya tekanan.
2. Adanya kesempatan.
3. Adanya alasan pembenaran.
Elemen pertama dan ketiga lebih melekat pada kondisi kehidupan dan sikap mental/moral pribadi seseorang, sedangkan elemen kedua terkait dengan sistem pengendalian internal dalam suatu organisasiatau perusahaan.

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan tekanan (pressure) antara lain:
1        Masalah keuangan, seperti tamak/rakus, hidup melebihi kemampuan, banyak hutang, biaya kesehatan yang besar, kebutuhan tak terduga.
2        Sifat buruk, seperti penjudi, peminum, pecandu narkoba.
3        Lingkungan pekerjaannya, misalnya sudah bekerja dengan baik tetapi kurang mendapat perhatian, kondisi kerja yang buruk.
4        Lain-lain seperti tekanan dari lingkungan keluarga.

Adapun faktor-faktor yang dapat meningkatkan adanya peluang atau kesempatan (opportunity) seseorang berbuat fraud antara lain:
1.       Sistem pengendalian internal yang sering juga disebut pengendalian internal, yang lemah.
2.       Tidak mampu menilai kualitas kerja karena tidak punya alat atau kriteria pengukurannya.
3.       Kurang atau tidak adanya akses terhadap informasi sehingga tidak memahami keadaan yang sebenarnya.
4.       Gagal mendisiplinkan atau memberikan sanksi pada pelaku fraud.
5.       Lalai, apatis, acuh tak acuh.
6.       Kurang atau tidak adanya  audit trail  (jejak audit), sehingga tidak dapat dilakukan penelusuran data.

Faktor-faktor yang mendorong seseorang mencari pembenaran (rationalization) atas tindakannya melakukan fraud, antara lain :
1.      Mencontoh atasan atau teman sekerja.
2.      Merasa sudah berbuat banyak kepada organisasi/perusahaan.
3.      Menganggap bahwa yang diambil tidak seberapa.
4.      Dianggap hanya sekadar meminjam, pada waktunya akan dikembalikan.

Pelaku dari Fraud
Menurut Sie Infokum – Ditama Binbangkum tahun 2008  bahwa pelaku kecurangan di atas dapat diklasifikasikan ke dalam  dua kelompok, yaitu manajemen dan karyawan/pegawai. Pihak manajemen melakukan kecurangan biasanya untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah  saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan (misstatements arising from fraudulent financial reporting). Sedangkan karyawan/pegawai melakukan kecurangan  bertujuan untuk keuntungan individu, misalnya salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva (misstatements arising from misappropriation of assets).
Kecurangan pelaporan keuangan biasanya dilakukan karena dorongan dan ekspektasi terhadap prestasi kerja manajemen. Salah saji yang timbul karena kecurangan terhadap pelaporan keuangan lebih dikenal dengan istilah irregularities  (ketidakberesan). Bentuk kecurangan seperti ini seringkali dinamakan kecurangan manajemen (management fraud), misalnya berupa : Manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan terhadap catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang merupakan sumber penyajian laporan keuangan.
Kesengajaan dalam salah menyajikan atau sengaja menghilangkan (intentional omissions) suatu transaksi, kejadian, atau informasi pentingdari laporan keuangan. Kecurangan penyalahgunaan aktiva biasanya disebut kecurangan karyawan (employee fraud). Salah saji yang berasal dari penyalahgunaan aktiva meliputi penggelapan aktiva perusahaan yang mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Penggelapan aktiva umumnya dilakukan oleh karyawan  yang menghadapi masalah keuangan dan dilakukan karena melihat adanya peluang kelemahan pada pengendalian internal perusahaan serta pembenaran terhadap tindakan tersebut.
Contoh salah saji jenis ini adalah :
  1. Penggelapan terhadap penerimaan kas;
  2. Pencurian aktiva perusahaan;
  3. Mark-upharga;
  4. Transaksi “tidak resmi”.


Pencegahan Kecurangan
Peran utama dari internal auditor sesuai dengan fungsinya dalam pencegahan kecurangan adalah berupaya untuk menghilangkan atau mengeleminir sebab-sebab timbulnya kecurangan tersebut. Karena pencegahan terhadap akan terjadinya suatu perbuatan curang akan lebih mudah daripada mengatasi bila telah terjadi kecurangan tersebut. Pada dasarnya kecurangan sering terjadi pada suatu suatu entitas apabila :
1        Pengendalian internal tidak ada atau lemah atau dilakukan dengan longgar dan tidak efektif.
2        Pegawai dipekerjakan tanpa memikirkan kejujuran dan integritas mereka.
3        Pegawai diatur, dieksploitasi dengan tidak baik, disalah gunakan atau ditempatkan dengan tekanan yang besar untuk mencapai sasaran dan tujuan keuangan yang mengarah tindakan kecurangan.
4        Model manajemen sendiri melakukan kecurangan, tidak efsien dan atau tidak efektif serta tidak taat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
5        Pegawai yang dipercaya memiliki masalah pribadi yang tidak dapat dipecahkan, biasanya masalah keuangan, kebutuhan kesehatan keluarga, gaya hidup yang berlebihan.
6        Industri dimana perusahaan menjadi bagiannya, memiliki sejarah atau tradisi kecurangan.
Pencegahan kecurangan pada umumnya adalah aktivitas yang dilaksanakan manajemen dalam hal penetapan kebijakan, sistem dan prosedur yang membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan sudah dilakukan dewan komisaris, manajemen, dan personil lain perusahaan untuk dapat memberikan keyakinan memadai dalam mencapai 3 ( tiga ) tujuan pokok yaitu; keandalan pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi serta kepatuhan terhadap hukum & peraturan yang berlaku ( COSO: 1992).





2.     Keadilan Organisasi
Keadilan organisasi dapat diartikan sebagai sebuah persepsi perlakuan adil dan kesetaraan antara hak dan kewajiban tiap individu di dalam sebuah organisasi. Menurut Rae dan Subramaniam (2008), Persepsi keadilan organisasi terkait dengan rasionalisasi individu dan motivasi untuk melakukan penipuan. Keadilan organisasi merupakan sebuah konsep psikologis yang berkaitan dengan cara-cara di mana karyawan menentukan apakah mereka telah diperlakukan secara adil dalam pekerjaan mereka dan cara di mana mereka mempengaruhi penentuan variabel pekerjaan lain yang berhubungan (Moorman, 1991).
Karyawan yang bekerja di sebuah organisasi akan berharap bahwa organisasi tersebut akan memperlakukan mereka dengan adil. Menurut  Equity Theory (Adams, dalam Donovan, 2001), karyawan menganggap partisipasi mereka di tempat kerja sebagai proses barter, di mana mereka memberikan kontribusi seperti keahlian dan kerja keras mereka, dan sebagai gantinya mereka mengharapkan hasil kerja baik berupa gaji ataupun pengakuan. Di sini, penekanannya adalah pada persepsi mengenai keadilan antara apa yang didapatkan karyawan relatif terhadap apa yang mereka kontribusikan.
Organizational justice atau keadilan organisational menurut Hassan dan Chandaran (2005) meliputi:  distributive justice,  procedural justice, dan interactional justice.  Distributive justice  berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya, sedangkan  procedural justice  memusatkan pada kewajaran proses pengambilan keputusan.  Interactional justice  mengacu persepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar pribadi atau  informal interaction  antara karyawan yang menerima keputusan dengan pembuat keputusan. Persepsi positif dari keadilan organisasional mengakibatkan perilaku positif seperti kepuasan kerja, komitmen, dan kepercayaan (Schmiesing dan Safrit, 2006). Komitmen berkembang pelan-pelan dan secara konsisten dari waktu ke waktu, sebagai hasil hubungan pegawai dengan pemberi kerja. Sikap ini secara signifikan dipengaruhi oleh persepsi pegawai tentang keadilan di dalam organisasi yang bersangkutan (Cropanzano dan Folger, 1996; Tang dan Sarsfield Baldwin, 1996, dalam Knights dan Kennedy, 2005).
Cara lain untuk melihat Keadilan Organisasi adalah  melalui konsep Prosedural Justice. Di sini, penekanannya adalah apakah prosedur yang digunakan untuk membagikan hasil kerja pada para karyawan cukup adil atau tidak (Donovan, 2001).
Tiga tipe keadilan menurut Yuwono, dkk (2005) yaitu sebagai berikut:
1.      Keadilan Distributif
Pengertian keadilan distributif meliputi tiga hal, yaitu:
a        Terletak pada nilai: Keadilan hanya berlaku sesuai dengan nilai yang dianut. Prinsip pemerataan dikatakan adil berdasarkan pada nilai apa yang dianut oleh pengambil kebijakan.
b        Terletak pada perumusan nilai-nilai menjadi sebuah peraturan: Meskipun satu prinsip keadilan distributif telah disepakati sehingga ketidakadilan pada tingkat nilai menjadi tidak muncul, belum tentu keadilan distributif telah ditegakkan. Yang terpenting pada konsep ini adalah bagaimana menterjemahkan nilai menjadi sebuah aturan yang implementatif sehingga pada gilirannya nanti mampu menjadikan acuan dalam bentuk perlakuan atau tindakan.
c         Terletak pada implementasi peraturan: Untuk menilai distribusi adil atau tidak, dapat dilihat dari tegaknya peraturan yang diterapkan. Pada taraf ini, aturan yang dibuat harus diimplementasikan sesuai dengan tata kerja yang telah diputuskan.
2.      Keadilan Prosedural
Dalam menerapkan keadilan prosedural terdapat beberapa aturan pokok yang harus diperhatikan, yaitu:
a        Konsistensi: Prosedur yang adil seharusnya konsisten dalam bentuk pemberian perlakuan. Konsistensi perlakuan itu terhadap satu orang dengan orang yang lain, juga konsistensi dari satu waktu ke waktu yang lain. Dalam hal ini setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan secara sama dalam satu prosedur yang sama.
b        Minimalisasi Bias: Untuk meminimalisasi bias perlu dikenali sumber biasnya, sering kali sumber bias yang muncul yaitu demi kepentingan individu dan demi doktrin yang memihak.
c         Informasi yang Akurat: nformasi yang dibutuhkan untuk menentukan agar penilaian dan perlakuan mengarah pada keadilan maka informasi itu harus akurat. Informasi yang akurat adalah informasi yang mendasarkan pada fakta.
d        Dapat diperbaiki: Upaya untuk memperbaiki kesalahan merupakan salah satu tujuan penting yang perlu ditegakkan untuk menuju pada keadilan.
e        Representatif: Prosedur dikatakan adil jika sejak awal ada upaya untuk melibatkan semua pihak yang terkait dengan perlakuan. Meskipun kadar keterlibatan yang dimaksudkan dapat disesuaikan dengan sub-sub kelompok yang ada, secara prinsip harus ada penyertaan dari berbagai pihak sehingga akses untuk melakukan control juga terbuka.
f          Etis: Prosedur yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan moral. Artinya, meskipun berbagai hal di atas telah dipenuhi untuk menuju pada keadilan, namun bila substansinya tidak memenuhi standar etika dan moral, maka seluruh perlakuan organisasi tidak bisa dikatakan adil

3.      Keadilan Interaksional
Menurut Tyler (1994) dalam Yuwono dkk. (2005) menyebutkan ada tiga hal penting yang patut diperhatikan dalam membahas keadilan interaksional, yaitu:
a        Penghargaan: Khususnya penghargaan kepada status seseorang, hal ini tercermin dalam bentuk perlakuan. Lebih khusus lagi adalah bentuk perlakuan atau tindakan dari orang yang berkuasa (pimpinan) terhadap anggota kelompoknya.
b        Netralitas: Konsep ini berkembang karena butuh keterlibatan pihak ketiga manakala ada masalah hubungan sosial antara satu pihak dengan pihak yang lain. Netralitas dalam keputusan atas konflik kedua belah pihak dapat tercapai manakala dasar-dasar dalam pengambilan keputusan lebih banyak menggunakan fakta dan bukan opini, apalagi fakta yang ditampilkan mempunyai nilai objektivitas yang tinggi juga punya nilai validitas yang tinggi pula.
c         Kepercayaan: Sering didefinisikan sebagai harapan pihak lain dalam melakukan hubungan sosial, yang di dalamnya mencakup resiko yang berkaitan dengan harapan tersebut.
Keadilan organisasi dapat muncul karena adanya rasa ketidakpuasan dan kemarahan dari para pegawai atas penyelenggaraan organisasi. Menurut Henle (2005), perasaan tersebut dapat memotivasi berbagai jenis perilaku menyimpang di tempat kerja yang meliputi perilaku yang diarahkan pada organisasi, seperti: keterlambatan, ketidakhadiran, pencurian dan sabotase, maupun yang diarahkan pada individu di tempat kerja, seperti: intimidasi, ejekan atau penyalahgunaan terhadap orang lain. Dietz, dkk (2003) menyatakan bahwa karyawan cenderung melihat contoh berulang dari perlakuan tidak adil di tempat kerja sebagai tanda tidak hormat bagi individu, menciptakan perasaan permusuhan yang pada gilirannya bisa meningkat menjadi perasaan negatif terhadap organisasi, yang mengarah ke penyimpangan kerja.


3.     Moralitas Individu
Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, moral diartikan sebagai susila. Moral adalah hal-hal yang sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar.
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.
Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.  Moral merupakan  produk dari budaya dan Agama.
Moral (wikipedia) adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Salah satu teori perkembangan moral yang banyak digunakan dalam penelitian etika adalah model Kohlberg.  Kohlberg (1969) sebagaimana dikutip oleh McPhail (2002) menyatakan bahwa moral berkembang  melalui tiga tahapan, yaitu tahapan  pre-conventional, tahapan  conventional  dan tahapan  post-konvensional. Welton (1994) menyatakan bahwa kemampuan individu dalam menyelesaikan dilema etika dipengaruhi oleh level penalaran moralnya.
Tiga tingkat perkembangan moral kohlberg, yang masing-masing tahap ditandai oleh dua tahap (Santrok, 2002). Konsep kunci dari teori Kohlberg, ialah internalisasi, yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Tingkat Satu: Penalaran Prakonvensional
Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan ketaatan ialah tahap pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini perkembangan moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap 2: Individualisme dan tujuan adalah tahap kedua dari teori ini. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan pada imbalan dan kepentingan diri sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
Tingkat Dua: Penalaran Konvensional
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah menengah. Seorang mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orangtua atau masyarakat.
Tahap 3: Norma-norma interpersonal, pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak anak sering mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oelh orangtuanya sebagai seorang perempuan yang baik atau laki-laki yang baik.
Tahap 4: Moralitas sistem sosial. Pada tahap ini, pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat Tiga: Penalaran Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
Tahap 5: Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual, pada tahap ini seseorang mengalami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang menyadari hukum penting bagi masyarakat, tetapi nilai-nilai seperti kebebasan lebih penting dari pada hukum.
Tahap 6: Prinsip-prinsip etis universal, pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik secara hukum dan suara hati, seseorang akan Menurut Welton (1994), dalam setiap  stage  Kohlberg, individu memiliki pandangan sendiri mengenai versi ‘hal yang benar’  menurutnya. Individu dalam  stage  1 merasa bahwa hal yang benar adalah apa yang menjadi kepentingan individu tersebut. Individu dalam  stage 2 menganggap bahwa hal yang benar adalah hasil dari pertukaran yang imbang, persetujuan maupun posisi tawar yang imbang. Individu dalam  stage  3 merasa bahwa hal yang benar adalah terkait dengan pengharapan akan kepercayaan, loyalitas, dan respek dari teman-teman dan keluarganya. Individu dalam  stage  4 menganggap bahwa hal yang benar adalah dengan membuat kontribusi untuk masyarakat, grup atau institusi. Individu dalam stage 5 dan stage 6 menganggap bahwa kebenaran adalah mendasarkan diri pada prisip-prinsip etis, persamaan hak manusia dan harga diri sebagai seorang makhluk hidupmengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi.
Hasil dari beberapa studi yang dipaparkan dalam Liyanarachchi menunjukkan bahwa level penalaran moral individu mereka akan mempengaruhi perilaku etis mereka. Orang dengan level penalaran moral yang rendah berperilaku berbeda dengan orang yang memiliki level penalaran moral yang tinggi ketika menghadapi dilema etika.  Menurut Rest dan Narvaez (1994) dalam Liyanarachchi (2009), semakin tinggi level penalaran moral seseorang, akan semakin mungkin untuk melakukan ‘hal yang benar’. Dalam tahapan yang paling rendah (pre-conventional), individu akan melakukan suatu tindakan karena takut terhadap hukum/peraturan yang ada. Selain itu individu pada level moral ini juga akan memandang kepentingan pribadin ya sebagai hal yang utama dalam melakukan suatu tindakan. Pada tahap kedua (conventional), individu akan mendasarkan tindakannya persetujuan teman-teman dan keluarganya dan juga pada norma-norma yang ada di masyarakat. Pada tahap tertinggi (post-conventional), individu mendasari tindakannya dengan memperhatikan kepentingan orang lain dan berdasarkan tindakannya pada hukum universal.

4.     Kualitas Pengendalian Internal
Definisi Pengawasan Intern yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik. Pada PP Pasal 2 ayat 1 tercantum bahwa pengendalian penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dilakukan untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel.

Tindakan/aktivitas pengendalian yang ada dalam organisasi dikelompokkan dalam (BPK, 2009) :
1        Pengendalian Pencegahan (preventive controls) bertujuan untuk mencegah galat (errors) atau peristiwa yang tidak diinginkan terjadi.
2        Pengendalian Pendeteksian (detective controls) bertujuan untuk menginformasikan kepada manajemen galat atau masalah yang sedang terjadi atau beberapa saat setelah terjadi.
3        Pengendalian Pemulihan (corrective controls) biasanya digunakan bersama dengan pendeteksian, bertujuan untuk memperbaiki kembali dari akibat terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan.
Menurut COSO, pengendalian internal merupakan suatu proses yang dipengaruhi oleh direksi organisasi, manajemen, dan personel lainnya, yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai akan tercapainya tujuan dalam kategori berikut (BPK, 2009) :
a.       Efektivitas dan efisiensi operasi
b.      Keandalan pelaporan keuangan
c.       Ketaatan pada hukum dan peraturan yang berlaku
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pengendalian internal pemerintah memiliki tujuan untuk mencapai pengelolaan keuangan baik di pemerintahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Pengendalian merupakan suatu tindakan atau aktivitas yang dilakukan manajemen untuk memastikan (secara memadai, bukan mutlak) tercapainya tujuan dan sasaran organisasi.
Tujuan pengendalian internal adalah menjamin manajemen perusahaan agar:
1.  Tujuan perusahaan yang ditetapkan akan dapat dicapai.
2.  Laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan dapat dipercaya.
3.  Kegiatan perusahaan sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Pengendalian internal dapat mencegah kerugian atau  pemborosan pengolahan sumber daya perusahaan. Pengendalian internal dapat menyediakan informasi tentang bagaimana menilai kinerja perusahaan dan manajemen perusahaan serta menyediakan informasi yang akan digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan.
Sasaran Pengendalian Internal adalah :
1.  Mendukung operasi perusahaan yang efektif dan efisien.
2.  Laporan Keuangan yang handal/akuntabel
3.  Perlindungan aset
4.  Mengecek keakuratan dan kehandalan data akuntansi
5.  kesesuaian dengan hukum dan peraturan–peraturan yang berlaku
6.  membantu menentukan kebijakan manajerial

Komponen Pengendalian Internal
Pengendalian internal sebagaimana didefinisikan oleh COSO, terdiri atas lima komponen yang saling terkait (Mustafa,2004), yaitu:
1        Lingkungan pengendalian (control environment)
2        Penaksiran risiko (risk assessment)
3        Aktivitas pengendalian (control activities)
4        Informasi dan komunikasi (information and communication)
5        Pemantauan (monitoring).

Komponen pertama, lingkungan pengendalian adalah tindakan, kebijakan, dan prosedur yang merefleksikan seluruh sikap top manajemen, dewan komisaris, dan pemilik entitas tentang pentingnya pengendaliandalam suatu entitas, yang mencakup
a.       Integritas dan nilai etika (integrity and ethical values);
b.      Komitmen terhadap kompetensi (commitment to competence);
c.       Partisipasi dewan komisaris atau komite audit  (Board of Directors or Audit Committee participation);
d.      Filosofi dan gaya operasi manajemen  (management’s philosophy and operating style);
e.       Struktur organisasi (organizational structure);
f.        Pemberian otoritas dan tanggung jawab  (assigment of authority and responsibility);
g.       Kebijakan dan praktik sumber daya manusia  (human resource policies and practices).

Komponen kedua penaksiran risiko dalam sistem pengendalian internal adalah usaha manajemen untuk mengidentifikasi dan menganalisis risiko yang relevan dalam menyiapkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan.
Komponen ketiga, aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang dibangun oleh manajemen untuk mencapai tujuan  laporan keuangan yang obyektif. Aktivitas pengendalian dapat digolongkan  dalam pemisahan tugas yang memadai, otorisasi yang tepat atas transaksi dan aktivitas, pendokumentasian dan pencatatan yang cukup, pengawasan aset antara catatan dan fisik, serta pemeriksaan independen atas kinerja.
Komponen keempat informasi dan komunikasi dalam pengendalian internal adalah metode yang dipergunakan untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, mengklasifikasi, mencatat dan melaporkan semua transaksi entitas, serta untuk memelihara akuntabilitas yang  berhubungan dengan aset. Transaksi-transaksi harus memuaskan dalam hal eksistensi, kelengkapan, ketepatan, klasifikasi, tepat waktu, serta dalam posting dan mengikhtisarkan.
Komponen kelima pemantauan kegiatan pengendalian internal secara periodik harus dipantau oleh manajemen. Pemantauan  meliputi penilaian atas kualitas kinerja pengendalian internal untuk menentukan apakah operasi pengendalian memerlukan modifikasi atau perbaikan.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa untuk mencegah terjadinya fraud  yang efektif adalah dengan membangun sistem pengendalian internal. Namun bagaimanapun baiknya sistem yang kita ciptakan akan selalu ada kekurangannya. Tidak ada sistem yang dapat sempurna untuk mencegah terjadinya  fraud.  Bagaimanapun ia dirancang dan diimplementasikan secara cermat dan hati-hati.
Kelemahan yang melekat pada sistem pengendalian internal adalah:
1.      Sistem yang baik sekalipun tidak dapat berjalan bilamana sekelompok pegawai berkolusi atau bekerjasama untuk melanggar  sistem. Dengan kolusi, akan terlihat di permukaan seolah-olah sistem dipatuhi tetapi pada hakekatnya dilanggar, antara lain dengan menggunakan dokumen fiktif dan prosedur yang direkayasa. Contohnya, prosedur dan proses tender terlihat benar, tapi sebenarnya direkayasa seperti tender arisan, tenderyang sebenarnya hanya diikuti oleh penawar dari grup atau tender yang diarahkan untuk dimenangkan rekanan tertentu yang mengarah pada merek tertentu.
2.      Sistem yang dirumuskan adalah hasil kompromi antara manfaat (benefit) dari sistem dan biaya (cost) yang disediakan untuk menyusun dan mengoperasikannya. Pada dasarnya suatu sistem pengendalian internal dibangun dengan tujuan agar:
a.       Informasi yang diperlukan dapat berjalan lancar, tepat waktu, lengkap dan cermat.
b.      Organisasi/perusahaan aman dari penyalahgunaan dan kecurangan.
c.       Biaya pengoperasian tidak mahal.
Ketiga tujuan tersebut tidak dapat dicapai seperti yang diharapkan, bahkan bisa kontradiktif. Jika dikehendaki informasi berjalan lancar, bisa jadi mengorbankan keamanan. Sebaliknya, jika keamanan diperketat, kelancaran akan terganggu dan biaya penyusunan dan implementasi sistem menjadi mahal.
Akhirnya yang diperoleh adalah hasil kompromi dari kontradiksi ini berupa suatu bangunan sistem pengendalian yang tidak sepenuhnya  membuat informasi berjalan lancar, tidak sepenuhnya aman dan tidak terlalu mahal. 3.  Kesalahan dan kelalaian pegawai yang menjalankan sistem. Kekurangan pemahaman atau kelalaian dalam menerapkan sistem dapat terjadi. Kelalaian dan kesalahan (error) dapat terjadi karena kelemahan yang melekat pada manusia. Kekurang pahaman dapat diatasi dengan pemberian pengertian dan sosialisasi secara terus-menerus tentang sistem yang berlaku. Meskipun tidak ada suatu sistem pengendalian internal yang sempurna, keberadaanya sangat membantu untuk lebih cepat mendeteksi  fraud  bila telah terlanjur terjadi. Adanya celah yang dapat diterobos (Loopholes) dari suatu sistem yang bersifat teknis mekanis diharapkan dapat ditutup oleh integritas dan kejujuran dari jajaran seluruh karyawan serta keteladanan dan keterbukaan pimpinan dalam kerangka bangunan nilai-nilai budaya perusahaan


PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian Terdahulu
KPMG Forensik (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor keadaan yang secara bersama dikenal sebagai “segitiga kecurangan”. Faktor tekanan (juga disebut sebagai  dorongan) menghubungkan motivasi/dorongan karyawan untuk melakukan kecurangan sebagai hasil dari kerakusan atau tekanan keuangan pribadi diantara beberapa alasan, sementara itu 40 rasionalisasi menunjukkan pembenaran dari perilaku  curang sebagai konsekuensi dari kekurangan integritas pribadi karyawan, atau alasan moral lainnya. Faktor ketiga, kesempatan, merujuk pada kelemahan dalam sistem dimana karyawan memiliki kekuatan atau kemampuan untuk memanfaatkan, membuat kecurangan menjadi mungkin untuk dilakukan.
Tipgos (2002) berpendapat bahwa bermacam-macam lingkungan pengendalian menunjukkan ciri-ciri dari sifat manjemen, dan kualitas dari kegiatan pengawasan mungkin mempengaruhi bagaimana  individu-individu karyawan taat terhadap prosedur dan kebijakan pengendalian internal. Namun demikian, tidak cukupnya bukti lapangan pada bagaimana lingkungan pengendalian internal dan hubungan faktor-faktor organisational mungkin mempengaruhi kualitas prosedur pengendalian internal. Bukti-bukti tersebut penting untuk menyediakan lebih banyak pemahaman keseluruhan dari kualitas hubungan antara macam-macam komponen dari sistem pengendalian internal, lebih memastikan manajemen biaya efektif dari keseluruhan sistem pengendalian internal entitas.
Penelitian yang dilakukan oleh Rae dan Subramaniam (2008) bahwa menyediakan bukti empiris secara periodik pentingnya kualitas prosedur pengendalian internal dan keadilan dari kebijakan organisasi merasa sebagai prosedural dan distributif keadilan di tempat kerja untuk pencegahan kecurangan oleh karyawan. Lebih lanjut, penelitian tersebut juga menyoroti kebutuhan untuk menjalankan tata kelola dan hubungan legislasi dan menjalankan batasan-batasan untuk memberikan perhatian signifikan untuk menyusun pengendalian utama manajemen. Ini termasuk tugas dari mekanisme kesalahan seperti prosedur pengendalian internal, pelatihan manajemen risiko,  dan aktivitas internal audit, sama baiknya kebijakan organisational dan prosedur  bahwa hubungan dengan isu dari keadilan dan kejujuran di tempat kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Wilopo (2006), Murniati (2009)  juga membuktikan bahwa pelaksanaan sistem pengendalian internal berpengaruh signifikan negatif terhadap pencegahan kecurangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Paramita Puspitadewi dan Soni Agus Irwandi (2012) bahwa terbukti adanya hubungan keadilan organisasional terhadap kecurangan pegawai dengan moderating kualitas pengendalian internal. Selain itu terdapat pengaruh dua variabel dalam komponen pengendalian internal yang dijelaskan oleh COSO yaitu aktivitas internal audit, dan  monitoring terhadap kualitas pengendalian internal.




BAB III
METODE PENELITIAN


Jenis penelitian digolongkan kepada penelitian kausatif dan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh secara langsung dari karyawan/i yang bekerja dengan menggunakan kuisioner dan wawancara untuk data-data yang diperlukan dalam penelitian.
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja pada kementerian.
Sampel ditentukan dengan menggukan teknik  simple ramdom sampling.  Dan responden dihitung dengan menggunakan rumus  Slovin  yaitu
Dimana:               
n  = Jumlah sampel
N  = Ukuran Populasi
e  = Batas kesalahan (5%)

Uji validitas dan uji reliabilitas digunakan karena penelitian ini menggunakan kuisioner.  Uji asumsi klasik  yang meliputi uji normalitas, multikolinearitas, dan heteroskedastisitas  dilakukan  agar  mengetahui  seluruh variabel  yang digunakan memenuhi syarat  untuk  dilanjutkan ke  analisis  regresi linear berganda.













DAFTAR PUSTAKA


ACFE “ Fraud Examiners Manual , Third Edition 2000.
Albrecht, S. W. dan C. Albrecht. 2004.  Fraud Examination and Prevention. Australia: Thomson, South-Western.
Badan Pemeriksa Keuangan. 2009.  Penilaian Sistem Pengendalian Intern. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Pemeriksa Keuangan.
COSO. 1992.  Internal Control-Integrated Approach,  Committee of Sponsoring .
COSO. 2004. ”Enterprise risk management-integrated framework”, Committee of Sponsoring Organizations, available at:www.coso.org/Publications/ERM/COSO_ERM_Executivesummary.pdf
Dietz, J., Robinson, S.L., Folger, R., Baron, R.A. dan Schultz, M. 2003. The Impact of Community Violence and An Organization’s Procedural Climate on Workplace Aggression. Academy of Management Journal, Vol. 46 No. 3, pp. 317-26.
Donovan, J. J. 2001. Work motivation. In N. Anderson, D.S. Ones, & H.K. Sinangil (Eds), The Handbook of Industrial, Work, and Organizational Psychology (pp. 53-76). London: Sage Publications.
Hassan, Arif dan Suresh Chandaran. 2005. “Quality Supervisor-Subordinate Relationship and Work Outcame: Organizational Justice as Mediator. IIUM Journal of Economic and Management, 13 (1): 1-20, http://www.iiu.edu.my/enmjurnal/131art2.pdf.
Henle, C.A. 2005. Predicting Workplace Deviance from The Interaction between Organizational Justice and Personality. Journal of Managerial Issues, Vol. 17 No. 2, pp. 247-63.
KPMG Forensic, 2003, “Fraud Survey 2003”, Amsterdam: KPMG International. Web site at www.us.kpmg.com.
Liyanarachi, G dan C. Newdick. 2009.  The Impact of Moral Reasoning and Retaliation on Whistle-Blowing: New-Zealand Evidence. Journal of Business Ethics 89.
Mariani.  2011. “Anteseden dan Moderasi Kualitas Pengendalian Internal terhadap Hubungan antara Keadilan Organisasi dan Kinerja Karyawan: Studi pada Pemerintah Kabupaten Semarang”. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang.
Maroney, J. J. dan R. E. McDevitt. 2008.  The Effects of Moral Reasoning on Financial Reporting Decisions in a Post Sarbanes-Oxley Environment. Behavioral Research of Accounting Organizations of the Treadway Commission, Jersey City, NJ.
Mc Phail, K. dan D. Walters. 2009. Accounting and Business Ethics. Routledge: London dan New York.
Mustafa, Ii Baihaqi; “Pengendalian Intern dan Pemberantasan Korupsi” diunduh dari Artikel Warta Pengawasan Vol. 10 XI/No. 1/Januari 2004.
Paramita Puspitadewi dan Soni Agus Irwandi. 2002. “Hubungan Keadilan Organisasional dan Kecurangan Pegawai dengan Moderating Kualitas Pengendalian Internal”. The Indonesian Accounting Review Volume 2, No. 2, July 2012, Hal 159 – 172. Jakarta.
Prasetyo, et al , Peak Indonesia, 2003, Fraud Prevention and Investigation, Jakarta.
Rae, Kirsty dan Nava Subramaniam.  Quality of Internal Control Procedure Antecedents and Moderating Effect On OrganisationalJustice and Employee Fraud. Manajerial Auditing Journal 23: 104-124
Riduan Simanjuntak, Ak, MBA, CISA, CIA.  “Kecurangan: Pengertian dan Pencegahan”  (diunduh dari www.asei.co.id/internal/docs/Asei Kecurangan.docs); [05/02/12
Santrok, John W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Erlangga\
Sevilla, Consuelo G. et. al (2007). Research Methods. Rex Printing Company. Quezon City.
Suhartini. 2005. “Keadilan dalam Pemberian Kompensasi”.  Jurnal Siasat Bisnis. No. 4 Vol. 2 Hal 103-114. Jakarta.
Tipgos, MA. 2002. “Why Management Fraud Is Unstoppable.” The CPA Journal , December, 35-41.
Welton, R. E., J. R Davis dan M. LaGroune. 1994.  Promoting The Moral Development Of Accounting Graduate Students. Accounting Education. International Journal 3.
Yuwono, Ino dkk. 2005. Psikologi Industri dan Organisasi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. http://jungjera.wordpress.com/tag/keadilan-organisasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar